Pada
masa Sang Buddha, telah terdapat banyak aktivitas intelektual besar di India.
Beberapa orang terpandai yang terkemuka di dunia telah berkecimpung di dalam
kontroversi-kontroversi besar keagamaan sepanjang masa.
Apakah
ada Sang Pencipta? Tidak adakah Sang Pencipta? Adakah jiwa itu? Tidak adakah
jiwa itu? Apakah dunia tanpa awal? Apakah ada sebuah awal permulaan?
Ini
merupakan beberapa topik yang hangat diperdebatkan oleh para pemikir terhebat
sepanjang waktu. Dan tentu saja, seperti masa sekarang ini, semua mengklaim
bahwa hanya dialah yang memiliki semua jawaban dan siapapun yang tidak
mengikutinya akan dikutuk dan dimasukkan ke dalam neraka! Sebenarnya, semua
pencarian keras atas kebenaran ini hanya akan menghasilkan lebih banyak lagi
kebingungan.
Sekelompok
pemuda yang tekun yang disebut suku Kalama pergi menghadap Sang Buddha dan
memberitahukan kepada Beliau mengenai kebingungan mereka. Mereka bertanya
kepada-Nya apakah yang harus seseorang lakukan sebelum menerima atau menolak
suatu ajaran.
1.
Janganlah Menerima Apapun Hanya Berdasarkan Pada Berita
Nasihat
Sang Buddha seperti yang disebutkan dalam Kalama Sutta yaitu tidak menerima
apapun hanya berdasarkan pada berita, tradisi, atau kabar angin semata.
Biasanya
orang mengembangkan keyakinan mereka setelah mendengarkan perkataan orang lain.
Tanpa berpikir mereka menerima apa yang orang lain katakan mengenai agama
mereka atau apa yang telah tercatat dalam buku-buku keagamaan mereka.
Kebanyakan orang jarang sekali mengusahakan untuk menyelidiki, untuk menemukan
apakah yang dikatakannya benar atau tidak. Sikap umum seperti ini sukar untuk
dipahami, khususnya di dalam era modern saat ini ketika pendidikan sains
mengajarkan orang untuk tidak menerima sama sekali apapun yang tidak bisa
dijelaskan secara rasional. Bahkan sekarang ini banyak yang disebut sebagai
pemuda berpendidikan hanya menggunakan
emosi atau ketaatan mereka tanpa menggunakan pikiran naralnya.
Dalam
Kalama Sutta, Sang Buddha memberikan nasihat yang sangat liberal (luas dan
terbuka) kepada sekelompok pemuda mengenai bagaimana menerima suatu agama
secara rasional. Ketika para pemuda ini tidak dapat memutuskan bagaimana
memilih agama yang sesuai, mereka datang untuk menemui Sang Buddha untuk
mendapatkan nasihat Beliau. Mereka mengatakan kepada-Nya bahwa semenjak
berbagai kelompok agama memperkenalkan agamanya dalam berbagai cara, mereka
mengalami kebingungan dan tidak bisa memahami cara keagamaan mana yang benar.
Para pemuda ini bisa diibaratkan dalam istilah modern sebagai para pemikir
bebas (free thinkers), atau para pencari kebenaran (truth seekers). Inilah
mengapa mereka memutuskan untuk mendiskusikan hal ini dengan Sang Buddha.
Mereka memohon kepada Sang Buddha untuk memberikan beberapa garis pedoman untuk
membantu mereka menemukan suatu agama yang masuk akal yang dengannya mereka
dapat menemukan kebenaran.
Dalam
menjawab pertanyaan mereka, Sang Buddha tidak mengklaim bahwa Dhamma
(ajaran-Nya) merupakan satu-satunya ajaran yang bernilai dan siapapun yang
mempercayai hal lain akan masuk ke neraka. Justru sebaliknya, Beliau memberikan
beberapa nasihat yang penting untuk mereka pertimbangkan. Sang Buddha tidak
pernah menganjurkan orang untuk menerima suatu agama hanya melalui iman (faith)
semata, tetapi Beliau menganjurkan mereka untuk mempertimbangkan dan memahami
segala sesuatunya tanpa bias (praduga/menyimpang). Beliau juga tidak
menganjurkan orang untuk menggunakan emosi atau ketaatan semata yang
berdasarkan pada kepercayaan yang membuta di dalam menerima suatu agama. Inilah
mengapa agama yang berdasarkan pada ajaran-Nya sering dijelaskan sebagai agama
rasional. Agama ini juga dikenal sebagai agama merdeka dan akal budi. Kita
seharusnya tidak menerima apapun melalui iman atau emosi untuk mempraktikkan
suatu agama. Kita seharusnya tidak menerima suatu agama begitu saja dikarenakan
agama itu menghilangkan ketakutan bodoh kita mengenai apa yang akan terjadi
pada diri kita, kapan kita mati ataupun ketakutan kita ketika diancam oleh api
neraka jika kita tidak menerima beberapa ajaran atau yang lainnya. Agama harus
diterima melalui pilihan bebas. Setiap pribadi harus menerima suatu agama
karena pemahaman dan bukan karena agama itu merupakan hukum yang diberikan oleh
suatu penguasa atau kekuatan-kekuatan supernatural. Menerima suatu agama
haruslah bersifat pribadi dan berdasarkan pada kepastian rasional akan agama
yang akan diterima.
Orang-orang
dapat membuat berbagai macam klaim mengenai agama mereka dengan
membesar-besarkan berbagai macam peristiwa untuk mempengaruhi orang lain.
Kemudian, mereka dapat memperkenalkannya sebagai pesan surgawi untuk
menumbuhkan iman atau rasa percaya. Tetapi kita harus membaca apa yang tertulis
secara analitis dengan menggunakan akal sehat dan kekuatan pikiran. Itulah
mengapa Sang Buddha menasihatkan kita untuk tidak menerima secara tergesa-gesa
apapun yang tercatat, tradisi, atau kabar angin semata. Orang-orang
mempraktikkan tradisi-tradisi tertentu yang berdasarkan pada kepercayaan,
kebiasaan atau cara hidup komunitas dimana mereka berada. Namun, beberapa
tradisi sangatlah penting dan berarti. Oleh karena itu, Sang Buddha tidak
mengecam semua tradisi adalah salah tetapi menasihatkan kita untuk
mempertimbangkannya dengan sangat berhati-hati praktik mana yang penuh arti dan
mana yang tidak. Kita harus mengetahui bahwa beberapa tradisi tertentu tersebut
menjadi ketinggalan jaman dan tidak berarti lagi setelah beberapa periode
waktu. Hal ini mungkin disebabkan karena kebanyakan di antaranya diperkenalkan
dan dipraktikkan oleh orang-orang primitif dan pemahaman mereka tentang
kehidupan manusia dan alam sangatlah terbatas pada masa itu. Jadi, pada masa
sekarang ini ketika kita menggunakan pendidikan sains modern kita dan
pengetahuan akan alam semesta, kita dapat melihat sifat sesungguhnya dari
kepercayaan mereka. Kepercayaan yang dimiliki orang-orang primitif mengenai
matahari, bulan, dan bintang-bintang, bumi, angin, halilintar dan guntur, hujan
dan gempa bumi, berdasarkan pada usaha mereka untuk menjelaskan fenomena alam
yang nampaknya sangat mengerikan. Mereka memperkenalkan fenomena alam tersebut
sebagai dewa-dewa atau perbuatan-perbuatan Tuhan dan kekuatan-kekuatan
supernatural.
2.
Janganlah Menerima Apapun Hanya Berdasarkan Pada Tradisi
Dengan
pengetahuan kita yang telah maju saat ini, kita dapat menjelaskan fenomena alam
yang nampaknya mengerikan ini sebagaimana apa adanya. Itulah mengapa Sang
Buddha mengatakan, “Janganlah menerima dengan segera apa yang kau dengar.
Janganlah mencoba untuk membenarkan perilaku tidak rasionalmu dengan mengatakan
ini adalah tradisi-tradisi kita dan kita harus menerimanya.” Kita seharusnya
tidak percaya begitu saja kepada takhayul ataupun dogma agama hanya karena para
sesepuh kita melakukan hal yang sama. Ini bukan berarti kita tidak menghormati
para sesepuh kita, tetapi kita harus melaju bersama waktu. Kita seharusnya
memelihara kepercayaan-kepercayaan yang sesuai dengan pandangan dan nilai-nilai
modern dan menolak apapun yang tidak diperlukan atau yang tidak sesuai karena
waktu telah berubah. Dengan cara ini kita akan dapat hidup dengan lebih baik.
Satu
generasi yang lalu, seorang pendeta Anglikan, Uskup dari Woolich menyatakan
sebuah kalimat, “Tuhan dari kesenjangan“ (God of the gaps)[1] untuk menjelaskan
bahwa apapun yang tidak kita pahami merupakan atribut dari Tuhan. Karena
pengetahuan kita terhadap dunia telah berkembang, kekuatan Tuhan tersebut pun
berkurang secara bersamaan.
3.
Janganlah Menerima Apapun Hanya Berdasarkan Pada Kabar Angin
Semua
orang suka mendengarkan cerita. Mungkin itulah mengapa orang mempercayai kabar
angin. Anggaplah ada seratus orang yang telah melihat sebuah peristiwa tertentu
dan ketika setiap orang menceritakannya kembali kepada yang lain, ia akan
mengaitkannya dengan cara yang berbeda dengan menambahkan lebih banyak hal
lainnya dan membesar-besarkan hal yang kecilnya. Ia akan menambahkan “garam dan
bumbu” untuk membuat ceritanya lebih seru dan menarik dan untuk memperindahnya.
Umumnya setiap orang akan menceritakan suatu kisah seolah-olah dialah
satu-satunya yang dapat menceritakan kepada orang lain apa yang benar-benar
terjadi. Inilah sifat sesungguhnya dari cerita yang dibuat dan disebarkan oleh
orang. Ketika Anda membaca beberapa kisah dalam agama apapun, cobalah untuk
ingat bahwa kebanyakan dari interpretasinya adalah hanya untuk menghias
peristiwa kecil untuk menarik perhatian orang. Jika tidak demikian, maka tidak
akan ada apapun bagi mereka untuk diceritakan kepada orang lain dan tak seorang
pun akan menaruh perhatian pada kisah itu.
Di
sisi lain cerita dapat sangat bermanfaat. Cerita merupakan cara yang menarik
untuk menyampaikan pelajaran moral. Kepustakaan Buddhis merupakan gudang yang
besar dari beragam kisah cerita. Tetapi itu hanyalah cerita. Kita tidak harus
mempercayainya seperti seolah-olah cerita itu adalah kebenaran mutlak. Kita
seharusnya tidak seperti anak kecil yang percaya bahwa seekor serigala dapat
menelan hidup-hidup seorang nenek dan berbicara kepada manusia! Orang dapat
berbicara mengenai berbagai macam keajaiban, tuhan-tuhan/dewa, dewi,
bidadari-bidadari dan kekuatan mereka berdasarkan pada kepercayaan mereka.
Kebanyakan orang cenderung untuk menerima dengan segera hal-hal tersebut tanpa
penyelidikan apapun, tetapi menurut Sang Buddha, kita seharusnya tidak
mempercayai dengan segera apapun karena mereka yang menceritakannya kepada kita
akan hal itu pun terpedaya olehnya. Kebanyakan orang di dunia ini masih berada
dalam kegelapan dan kemampuan mereka untuk memahami kebenaran sangatlah rendah.
Hanya beberapa orang yang memhami segala sesuatu secara sewajarnya. Bagaimana
mungkin seorang buta menuntun seorang buta lainnya? Kemudian ada perkataan
lain, ”Jack si mata satu dapat menjadi raja di Kerajaan orang buta.” Beberapa
orang mungkin hanya mengetahui sebagian dari kebenaran. Kita perlu berhati-hati
dalam menempatkan kepercayaan mutlak kita kepadanya.
4.
Janganlah Menerima Apapun Hanya Berdasarkan Pada Otoritas Teks-Teks Keagamaan
Selanjutnya
Sang Buddha memperingatkan kita untuk tidak mempercayai apapun berdasarkan pada
otoritas teks-teks keagamaan ataupun kitab-kitab suci. Beberapa orang selalu
mengatakan bahwa semua pesan-pesan yang terdapat dalam kitab-kitab suci mereka disampaikan
secara langsung oleh Tuhan mereka. Sekarang ini, mereka mencoba untuk
memperkenalkan buku-buku tersebut sebagai pesan dari surga. Hal ini sukar untuk
dipercaya bahwa mereka menerima pesan ini dari surga dan mencatatnya dalam
kitab suci mereka hanya pada beberapa ribu tahun yang lampau. Mengapa wahyu ini
tidak diberikan lebih awal? (Menimbang bawa planet bumi ini berusia empat
setengah miliar tahun). Mengapa wahyu tersebut dibuat hanya untuk menyenangkan
beberapa orang tertentu saja? Tentunya akan jauh lebih efektif jika
mengumpulkan semua orang dalam suatu tempat dan menyatakan kebenaran kepada
banyak orang daripada bergantung pada satu orang untuk melakukan pekerjaan itu.
Bukankah tetap lebih baik jika tuhan-tuhan mereka menampakkan diri pada hari-hari
penting tertentu dalam setahun untuk membuktikan keberadaan dirinya secara
berkala? Dengan cara demikian tentunya mereka tidak akan memiliki kesulitan
sama sekali untuk mengubah seluruh dunia!
Umat
Buddha tidak berusaha untuk memperkenalkan ajaran Sang Buddha sebagai pesan
surgawi, dan mereka mengajarkan tanpa menggunakan kekuatan mistik apapun.
Menurut Sang Buddha, bahkan kita tidak seharusnya menerima ajaran-Nya seperti
yang tercatat dalam kitab suci Buddhis secara membuta dan tanpa pemahaman yang
benar. Ini merupakan kebebasan yang luar biasa yang Sang Buddha berikan kepada
kita. Meskipun Beliau tidak pernah mengklaim bahwa umat Buddha adalah
orang-orang pilihan Tuhan, Beliau memberikan penghargaan jauh lebih besar
kepada kecerdasan manusia dibanding dengan yang pernah dilakukan oleh agama
manapun.
Cara
terbaik bagi seseorang yang berasional untuk mengikuti adalah mempertimbangkan
secara hati-hati sebelum ia menerima atau menolak segala sesuatu. Mempelajari,
memikirkan, menyelidiki sampai Anda menyadari apa yang ada sebenarnya. Jika
Anda menerimanya hanya berdasarkan pada perintah atau kitab-kitab suci, Anda
tidak akan menyadari kebenaran bagi diri Anda sendiri.
5.
Janganlah Hanya Bergantung Pada Logika dan Argumentasi Semata
“Janganlah
bergantung pada logika dan argumentasi pribadi semata” merupakan nasihat lain
dari Sang Buddha. Janganlah berpikir bahwa penalaran Anda adalah hal yang
mutlak. Kalau tidak demikian, Anda akan berbangga diri dan tidak mendengarkan
orang lain yang lebih mengetahui dibandingkan dengan diri Anda. Biasanya kita
menasihatkan orang untuk menggunakan penalaran mereka. Benar, dengan
menggunakan daya pikir dan akal mereka yang terbatas, manusia berbeda dengan
hewan dalam hal menggunakan penalaran untuk diri mereka sendiri. Bahkan seorang
anak kecil dan orang yang tidak berpendidikan pun menggunakan penalaran sesuai
dengan usia, kedewasaan, pendidikan, dan pemahaman mereka. Tetapi kekuatan
penalaran ini berbeda berdasarkan pada kedewasaan, pengetahuan, dan pengalaman
mereka. Lagi pula, penalaran ini merupakan subjek dari perubahan, dari waktu ke
waktu. Identitas atau pengenalan akan konsep-konsep pada diri manusia juga
berubah dari waktu ke waktu. Dalam penalaran seperti itu tidak ada analisa
terakhir atau kebenaran mutlak. Karena kita tidak memiliki pilihan lain, kita
harus menggunakan penalaran terbatas kita secara keras sampai kita mendapatkan
pemahaman yang tepat. Tujuan kita seharusnya adalah mengembangkan pikiran kita
secara berkesinambungan dengan bersiap diri untuk belajar dari orang lain tanpa
menjadi masuk ke dalam kepercayaan membuta. Dengan membuka diri kita terhadap
cara berpikir yang berbeda, dengan membiarkan kepercayaan kita
tertantang/teruji, dengan selalu tetap membuka pikiran, kita mengembangkan
pemahaman kita terhadap diri kita sendiri dan dunia di sekeliling kita. Sang
Buddha mengunjungi setiap guru yang dapat Beliau temukan sebelum Beliau
mencapai Pencerahan terakhir. Meskipun kemudian Beliau tidak menerima apapun
yang mereka ajarkan. Sebaliknya, Beliau menggunakan penalaran-Nya untuk
memahami Kebenaran. Dan ketika Beliau mencapai Pencerahan, Beliau tidak pernah
marah atau mengancam siapapun yang tidak setuju dengan ajaran-Nya.
Sekarang
marilah kita mempertimbangkan argumen dan logika. Kapanpun kita berpikir bahwa
hal-hal tertentu dapat diterima oleh kita, kita mengatakan hal-hal tersebut
adalah logis. Sebenarnya, seni logika merupakan sebuah alat yang bermanfaat
bagi sebuah argumen. Logika dapat diekploitasi oleh para orator (ahli pidato)
berbakat yang menggunakan kepandaian dan kecerdikan. Seseorang yang mengetahui
cara berbicara dapat menjatuhkan kebenaran dan keadilan serta mengalahkan orang
lain. Seperti para pengacara berargumen di pengadilan. Kelompok-kelompok agama
yang berbeda berargumen untuk membuktikan bahwa agama mereka lebih baik dari
agama-agama yang lainnya. Argumen-argumen mereka berdasarkan pada bakat dan
kemampuan mereka untuk menyampaikan pandangan-pandangan mereka tetapi
sebenarnya mereka tidak tertarik kepada kebenaran. Inilah sifat alami dari
argumen. Untuk mencapai kebenaran, Sang Buddha menasihatkan kita untuk tidak
terpengaruh oleh argumen atau logika tetapi menasihatkan kita untuk menggunakan
penyelidikan yang tidak bias. Ketika orang-orang mulai berargumen, secara alami
emosi mereka juga muncul dan hasilnya adalah argumen yang memanas. Kemudian,
egoisme manusia menambah lebih banyak lagi api dalam perang kata-kata ini. Pada
akhirnya, menciptakan permusuhan karena tak ada seorang pun yang mau menyerah.
Oleh karena itu, tidak seorang pun seharusnya memperkenalkan kebenaran agama
melalui argumen. Ini merupakan nasihat penting lainnya dari Sang Buddha.
6.
Janganlah Menerima Apapun Hanya Berdasarkan Pada Pengaruh Pribadi Seseorang
Kemudian
nasihat selanjutnya adalah janganlah menerima apapun sebagai kebenaran mutlak
berdasarkan pada pengaruh pribadi seseorang. Hal ini mengacu pada kepercayaan
yang dilihat sebagai kebenaran melalui imajinasi pribadi seseorang. Meskipun
kita memiliki keraguan dalam pikiran kita, kita menerima hal-hal tertentu
sebagai kebenaran setelah penyelidikan yang terbatas. Semenjak pikiran kita
terpedaya oleh banyaknya keinginan dan perasaan-perasaan emosional, sikap batin
ini menciptakan banyak ilusi. Dan kita juga sebenarnya memiliki kebodohan batin
yang mendalam. Semua orang menderita karena kebodohan batin dan ilusi.
Kekotoran batin menyelimuti pikiran yang kemudian menjadi bias dan tidak dapat
membedakan antara kebenaran dan ilusi. Sebagai hasilnya, kita menjadi percaya
bahwa hanya kepercayaan kitalah yang benar. Nasihat Sang Buddha adalah agar
tidak mengambil sebuah kesimpulan dengan segera dengan menggunakan perasaan
emosional kita melainkan agar mendapatkan lebih banyak lagi informasi dan
penyelidikan sebelum kita mengambil kesimpulan terhadap sesuatu. Ini berarti
kita harus bersedia mendengarkan terlebih dulu apa yang orang lain katakan.
Mungkin mereka dapat menjernihkan keragu-raguan kita dan membantu kita untuk
mengenali kesalahan atas apa yang kita percayai sebagai kebenaran. Sebagai
contoh untuk hal ini adalah suatu masa ketika orang-orang pernah mengatakan
bahwa matahari mengelilingi bumi dimana bumi berbentuk datar seperti layaknya
uang logam. Hal ini berdasarkan pada keterbatasannya pengetahuan mereka, tetapi
mereka bersiap untuk membakar hidup-hidup siapapun yang berani mengemukakan
pandangan yang lain. Terima kasih kepada Guru Tercerahkan kita, Buddhisme dalam
sejarahnya tidak memiliki catatan gelap dimana orang tidak diperkenankan untuk
menentang apapun yang tidak masuk akal seperti itu. Inilah mengapa begitu
banyak aliran Buddhisme saling bertautan secara damai tanpa mengecam satu sama
yang lain. Berdasarkan pada petunjuk-petunjuk yang jelas dari Sang Buddha, umat
Buddha menghormati hak-hak orang lain untuk memegang pandangan-pandangan yang
berbeda.
7.
Janganlah Menerima Apapun Yang Kelihatannya Benar
Nasihat
selanjutnya adalah agar janganlah menerima apapun yang kelihatannya benar.
Ketika Anda melihat segala hal dan mendengarkan beberapa tafsiran yang
diberikan oleh orang lain, Anda hanyalah menerima penampilan luar dari
obyek-obyek tersebut tanpa menggunakan pengetahuan anda secara mendalam.
Kadangkala konsep atau identitas yang Anda ciptakan mengenai suatu obyek adalah
jauh dari kebenaran hakikinya.
Cobalah
untuk melihat segala sesuatu dalam sudut pandang yang sebagaimana mestinya.
Buddhisme dikenal sebagai Ajaran Analisis[2]. Hanya dengan melalui analisa kita
dapat memahami apa yang sebenarnya terdapat pada sebuah obyek dan apakah jenis
dari elemen-lemen dan energi-energi yang berkerja dan bagaimanakah hal-hal itu
bisa ada, mengapa mengalami kelapukan dan menghilang. Jika Anda benar-benar
menelaah sifat alami dari hal-hal ini, Anda akan menyadari bahwa segala sesuatu
yang ada adalah tidak kekal dan kemelekatan terhadap obyek-obyek tersebut dapat
menimbulkan kekecewaan. Juga, Anda akan menyadari bahwa tidak ada hal penting
dalam pertengkaran mengenai ide-ide ketika dalam analisa terakhir, ketika
melihat hal-hal tersebut dalam sudut pandang yang sebebarnya, ternyata hal-hal
tersebut hanyalah ilusi belaka. Umat Buddha tidaklah terjebak dalam hal-hal
kontoversial mengenai kapan dunia akan berakhir karena mereka melihat bahwa
secara pasti segala sesuatu yang terdiri dari perpaduan akan mengalami kehancuran.
Dunia akan berakhir. Tidak ada keraguan akan hal itu. Kita berakhir setiap
waktu kita menarik napas masuk dan keluar. Akhir dunia (yang disampaikan oleh
Sang Buddha) hanya semata-mata peristiwa dramatis dari sesuatu yang terjadi
dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan ilmu astronomi modern mengatakan kepada
kita bahwa dunia bergejolak setiap saat. “Mereka yang tidak mengkhawatirkan
masa lalu, mereka yang tidak mengkhawatirkan masa depan, maka mereka hidup
dalam ketenangan”[3] (Sang Buddha). Ketika kita mengetahui kebenaran ini, maka
akhir dunia tidak lagi menjadi hal yang begitu menakutkan atau bahkan tidaklah
pantas untuk dikhawatirkan.
8.
Janganlah Bergantung Pada Pengalaman Spekulasi Pribadi Seseorang
Sang
Buddha kemudian memperingatkan para pengikutnya untuk tidak bergantung pada
pengalaman spekulasi pribadi seseorang. Setelah mendengarkan atau membaca
beberapa teori tertentu, orang dengan mudah tiba pada kesimpulan tertentu dan
memelihara kepercayaan ini. Mereka menolak dengan sangat keras untuk mengubah
pandangan mereka karena pikiran mereka telah terbentuk atau karena sewaktu
beralih pada kepercayaan tertentu, mereka telah diperingatkan bahwa mereka akan
dibakar di dalam neraka jika mereka mengubah pendiriannya. Dalam kebodohan dan
rasa takut, orang-orang malang ini hidup dalam surga kebodohan, mereka berpikir
bahwa kesalahan-kesalahan mereka secara ajaib akan diampuni. Nasihat Sang
Buddha adalah agar tidak membuat kesimpulan gegabah apapun untuk memutuskan
apakah sesuatu itu benar atau sebaliknya. Manusia dapat menemukan berbagai
macam hal di dunia ini tetapi hal yang paling sukar bagi mereka untuk dilihat
adalah kebenaran atau realita dari segala sesuatu yang terbentuk dari
perpaduan. Kita seharusnya tidak bergantung pada desas-desus spekulasi untuk
memahami kebenaran. Kita boleh menerima beberapa hal tertentu sebagai dasar
yang digunakan untuk memulai sebuah penyelidikan yang akhirnya akan memberikan
kepuasan pada pikiran yang selalu ingin tahu. Keputusan yang kita ambil dengan
cara spekulasi dapat dibandingkan dengan keputusan yang dibuat oleh sekelompok
orang buta yang menyentuh bagian berbeda dari tubuh seekor gajah. Setiap orang
buta tersebut memiliki keputusan sendiri berdasarkan apa yang ia pikirkan
tentang bentuk dari gajah tersebut. Bagi masing-masing orang buta tersebut, apa
yang ia katakan adalah benar. Meskipun mereka yang dapat melihat hal-hal
tersebut tahu bahwa semua orang buta tersebut salah, dalam pikiran orang-orang
buta tersebut mereka berpikir bahwa merekalah yang benar. Juga janganlah
seperti katak dalam tempurung kelapa yang berpikir bahwa tidak ada dunia lain
di luar apa yang dapat ia lihat.
Kita
terbutakan oleh kekotoran batin kita. Inilah mengapa kita tidak dapat memahami
kebenaran. Inilah mengapa orang lain dapat menyesatkan dan mempengaruhi kita
dengan sangat mudah. Kita selalu mudah mengganti kepercayaan yang telah kita
terima sebagai kebenaran karena kita tidak memiliki pemahaman yang mendalam.
Orang-orang mengubah lebel agama mereka dari waktu ke waktu karena mereka mudah
terpengaruh oleh emosi manusia. Ketika kita sudah menyadari kebenaran
tertinggi, kita tidak perlu lagi mengubahnya dalam keadaan apapun karena dalam
kebenaran terakhir tidak ada hal yang diubah, ia adalah Mutlak.
9.
Janganlah Dengan Mudah Mengubah Pandangan Kita Karena Kita Terkesan Oleh
Kemampuan Seseorang Yang Tampak Mengesankan
Kita
seharusnya tidak mengubah pandangan-pandangan kita dengan mudah karena kita
terkesan oleh kemampuan yang tampak mengesankan dari seseorang merupakan
nasihat selanjutnya Sang Buddha yang diberikan kepada para pemuda yang disebut
dengan suku Kalama. Beberapa orang memiliki kemampuan untuk mengesankan Anda
dengan perilaku dan kemampuan nyata untuk melakukan hal-hal tertentu. Sebagai
contoh, akankah Anda mempercayai secara membuta seorang gadis yang ada di iklan
televisi yang mengatakan kepada Anda bahwa Anda juga dapat menjadi cantik
secantik dirinya, memiliki gigi seindah giginya, jika Anda menggunakan pasta
gigi merek tertentu? Tentu tidak. Anda tidak akan menerima apa yang ia katakan
tanpa memeriksa secara hati-hati kebenaran akan pernyataanya. Ini juga sama
dengan para pembicara fasih yang mengetuk pintu Anda untuk menceritakan cerita
yang mempesona tentang “kebenaran” mereka. Mereka mungkin berbicara mengenai
beragam pengajar agama, guru-guru, dan ahli-ahli meditasi. Mereka juga akan
menikmati memberi pernyataan yang dilebih-lebihkan untuk membuktikan kekuatan
dari guru-guru mereka untuk mempengaruhi pikiran Anda. Jika Anda secara membuta
menerima perkataan-perkataan mereka sebagai Kebenaran, Anda akan memelihara
pandangan yang goyah dan dangkal karena Anda tidak sepenuhnya yakin. Anda
mungkin mengikuti mereka dengan iman untuk beberapa saat, tetapi suatu hari
Anda akan merasa kecewa, karena Anda tidak menerimanya melalui pemahaman dan
pengalaman Anda. Dan segera setelah guru mengesankan lainnya datang, Anda akan
meninggalkan yang pertama.
Telaahlah
nasihat yang diberikan oleh Sang Buddha. Pikirkan bagaimana beralasannya, masuk
akalnya, dan ilmiahnya cara pengajaran-Nya. “Janganlah mendengarkan orang lain
dengan kepercayaan membuta. Dengarkanlah mereka dengan segala pengertiannya,
tetapi tetaplah penuh perhatian dan dengarlah dengan pikiran terbuka. Anda
tidak seharusnya menyerahkan pendidikan dan kecerdasan Anda kepada orang lain
ketika Anda sedang mendengarkan mereka. Mereka mungkin mencoba untuk
membangkitkan emosi Anda dan mempengaruhi pikiran Anda sesuai dengan kebutuhan
duniawi Anda untuk memuaskan keinginan Anda. Namun tujuan mereka mungkin bukan
berkepentingan untuk mengungkapkan kebenaran.”
10.
Janganlah Menerima Apapun Atas Pertimbangan Bahwa “Inilah Guru Kami”
Janganlah
menerima apapun atas pertimbangan bahwa “inilah guru kami”, merupakan nasihat
terakhir Sang Buddha dalam konteks ini. Pernahkah Anda mendengar guru-guru
agama lain manapun yang mengutarakan kata-kata seperti itu? Semua guru agama
lain mengatakan, “Sayalah satu-satunya guru terhebat, saya adalah Tuhan.
Ikutilah aku, sembahlah aku, berdoalah padaku, jika tidak engkau tidak akan
memiliki keselamatan.” Mereka juga mengatakan, “Janganlah kau menyembah Tuhan
lain atau guru lain.” Berpikirlah untuk sejenak untuk memahami sikap Sang
Buddha. Sang Buddha mengatakan, “Engkau seharusnya tidak bergantung secara
membuta kepada gurumu. Ia mungkin saja adalah penemu sebuah agama atau seorang
guru yang terkemuka, tetapi meskipun demikian engkau tidak seharusnya
mengembangkan kemelekatanmu terhadapnya sekali pun.”
Beginilah
caranya Sang Buddha memberikan penghargaan yang semestinya kepada kecerdasan
seseorang dan memperkenankan manusia menggunakan kehendak bebasnya tanpa
bergantung kepada orang lain. Sang Buddha mengatakan, “Engkau bisa menjadi tuan
atas dirimu sendiri.” Sang Buddha tidak pernah mengatakan kepada kita bahwa
Beliaulah satu-satunya Guru Yang Tercerahkan dan karenanya para pengikutnya
tidak diperkenankan untuk memuja tuhan/dewa dan guru agama lain. Beliau juga
tidak menjanjikan para pengikutnya bahwa mereka dapat dengan mudah pergi ke
surga atau mencapai Nibbana jika mereka memuja-Nya secara membuta. Jika kita
mempraktikkan sebuah agama hanya dengan bergantung kepada seorang guru, kita
tidak akan pernah menyadari kebenaran. Tanpa menyadari kebenaran mengenai agama
yang kita praktikkan kita dapat menjadi korban dari kepercayaan yang membuta
dan memenjarakan kebebasan berpikir kita dan akhirnya menjadi budak bagi
seorang guru tertentu dan mendiskriminasikan guru yang lain.
Kita
harus menyadari bahwa kita harus tidak bergantung pada orang lain untuk
keselamatan kita. Tetapi kita dapat menghormati guru agama manapun yang tulus
dan pantas untuk dihormati. Para guru agama dapat mengatakan kepada kita apa
yang dilakukan untuk meraih keselamatan kita, tetapi seseorang tidak dapat
menyelamatkan orang lain. Penyelamatan ini bukan seperti menyelamatkan sebuah
kehidupan ketika dalam bahaya. Ini adalah pembebasan terakhir dari kekotoran
batin dan penderitaan duniawi. Inilah mengapa kita harus berkerja secara
individual (sendiri) untuk meraih pembebasan kita atau kemerdekaan penuh
berdasarkan pada nasihat yang diberikan oleh guru-guru agama.
“Tidak
ada seorang pun yang dapat menyelamatkan kita selain diri kita. Sang Buddha
hanyalah menunjukkan jalannya.”
Dapatkah
Anda pikirkan pemimpin agama lain yang manapun yang pernah mengatakan hal ini?
Inilah kebebasan yang kita miliki di dalam Buddhisme.
Inilah
sepuluh nasihat yang diberikan oleh Sang Buddha kepada sekelompok pemuda yang
disebut suku Kalama yang datang menemui Sang Buddha untuk mengetahui bagaimana
menerima suatu agama dan bagaimana untuk memutuskan mana agama yang benar.
Nasihat
Beliau adalah: “Janganlah mementingkan diri sendiri dan janganlah menjadi budak
bagi yang lain; Janganlah melakukan apapun hanya untuk kepentingan pribadi
tetapi pertimbangkan untuk kepentingan pihak lain.” Beliau mengatakan kepada
suku Kalama bahwa mereka dapat memahami hal ini berdasarkan pada pengalaman
pribadi mereka. Beliau juga mengatakan bahwa di antara beragam praktik dan
kepercayaan, ada hal-hal tertentu yang baik bagi seseorang tetapi tidak baik
bagi yang lain. Dan sebaliknya, ada hal-hal tertentu yang baik bagi orang lain
tetapi tidak baik bagi seseorang. Sebelum Anda melakukan apapun, Anda harus
mempertimbangkan baik manfaat maupun ketidakmanfaatan yang akan bertambah pada
diri Anda. Inilah garis pedoman untuk dipertimbangan sebelum Anda menerima
suatu agama. Oleh karena itu, Sang Buddha telah memberikan kebebasan secara
penuh kepada kita untuk memilih suatu agama berdasarkan pada pendirian diri
kita sendiri.
Buddhisme
merupakan suatu agama yang mengajarkan seseorang untuk memahami bahwa manusia
bukanlah untuk agama tetapi agama itulah yang untuk manusia gunakan. Agama
dapat diibaratkan sebagai rakit yang digunakan manusia untuk menyeberangi
sungai. Ketika orang itu telah sampai di sisi lain sungai, ia dapat
meninggalkannya dan melanjutkan perjalanannya. Seseorang seharusnya menggunakan
agama untuk perbaikan dirinya dan untuk mengalami kebebasan, kedamaian, dan kebahagiaan.
Buddhisme merupakan suatu agama yang dapat kita gunakan untuk hidup penuh
kedamaian dan membiarkan yang lain untuk juga hidup penuh kedamaian. Saat
mempraktikkan agama ini kita diperkenankan untuk menghormati agama lain. Jika
sukar untuk menghormati sikap dan perilaku agama lain maka setidaknya kita
perlu bertoleransi tanpa mengganggu atau mengutuk agama lain. Sangatlah sedikit
agama lain yang mengajarkan para pengikutnya untuk mengadopsi sikap
bertoleransi ini.
-Selesai-
Catatan
Penerjemah:
[1]
Sebuah sudut pandang teologis yang menganggap bahwa kesenjangan atau celah yang
ada di dalam pengetahuan ilmiah merupakan bukti dari keberadaan Tuhan.
[2]
Ajaran Analisis (Pali: vibhajyavāda), ajaran yang mengajarkan bahwa pemahaman
yang mendalam harus berasal dari pengalaman, penyelidikan kritis dan penalaran,
bukan dari kepercayaan yang membuta (iman).
[3]
Bandingkan dengan: Dhammapada 348, Bhaddekaratta Sutta (Majjhima Nikāya 131),
dan Arañña Sutta (Saṃyutta Nikāya 1.10)
Judul
Asli: How To Choose A Religion?
Oleh:
Y. M. K. Sri Dhammananda
Diterjemahkan
oleh: Bhagavant.com (sumber)
Label:
K-2013,
Materi Pelajaran,
PAB & BG,
SMA-SMK