Manusia selalu memiliki rasa ingin tahu dengan kondisi alam
sekitarnya. Ketika kita memandang ke atas langit, kita mungkin bertanya-tanya
seberapa luas alam semesta, berapakah umurnya, dan bagaimana awal dan akhirnya.
Semua rasa ingin tahu yang mengarah pada pertanyaan-pertanyaan ini menimbulkan
apa yang disebut bidang ilmu kosmologi saat ini. Bidang ilmu ini dulunya
merupakan kajian agama yang berupaya mencari jawaban atas asal-usul alam
semesta, manusia, dan Tuhan, yang kemudian melahirkan filsafat alam semesta
yang lebih bersifat metafisika sebelum akhirnya berkembang menjadi kosmologi
modern yang menggabungkan observasi dan pendekatan matematis untuk menjelaskan
alam semesta secara menyeluruh.
Kosmologi Buddhis merupakan penjelasan atas struktur dan
keadaan alam semesta berdasarkan berbagai sutta/sutra (kotbah Sang Buddha).
Dalam berbagai sutta Buddha menjelaskan berbagai kondisi alam kehidupan, pada
sutta lainnya Buddha menggambarkan awal mula kemunculan manusia di bumi.
Gambaran alam semesta menurut agama Buddha tidak boleh dipahami secara harfiah
dan mungkin tidak dapat diuji dengan percobaan ilmiah. Ia bisa saja tidak
sesuai dengan fakta astronomi yang telah ditemukan saat ini. Ia hanya bisa
diamati melalui meditasi karena kosmologi Buddhis merupakan struktur alam
semesta yang diamati oleh mata batin (dibbacakkhu) seorang Buddha dan
orang-orang yang telah melatih pikiran mereka sampai pada tingkat pemusatan
pikiran tertentu.
Luas Alam Semesta Dalam Ananda Vagga, Anguttara Nikaya, Sang
Buddha menjelaskan kepada Ananda tentang luasnya alam semesta sebagai berikut:
“Ananda, apakah kau pernah
mendengar tentang seribu Culanika lokadhatu (tata surya kecil)?” “Ananda,
sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran
sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di
dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu gunung
Sineru, seribu Jambudipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu
Pubbavideha, empat ribu maha samudera, empat ribu maharaja, seribu
Catummaharajika, seribu Tavatimsa, seribu Yama, seribu Tusita, seribu
Nimmanarati,seribu Paranimmitavassavati, dan seribu alam Brahma. Inilah Ananda,
yang dianamakan seribu tata surya kecil (Sahasi culanika lokadhatu).
Ananda, seribu kali Sahasi culanika lokadhatu dinamakan Dvisahassa majjhimanika
lokadhatu, seribu kali Dvisahassa majjhimanika lokadhatu dinamakan Tisahassi
Mahasahassi lokadhatu. Ananda, bilamana Sang Tathagata (sebutan yang digunakan
Buddha untuk menunjuk pada diri-Nya sendiri) mau, maka Ia dapat memperdengarkan
suara-Nya sampai terdengar di Tisahassi Mahasahassi lokadhatu ataupun melebihi
itu lagi.”
Di sini Buddha menjelaskan terdapat sistem tata surya yang
disebut seribu tata surya di mana terdapat seribu matahari, seribu bulan, dan
seribu bumi di mana dapat ditemukan gunung Sineru sebagai pusat bumi, Jambudipa
(benua di sebelah selatan), Aparayojana (benua di sebelah barat), Uttarakuru
(benua di sebelah utara), dan Pubbavideha (benua di sebelah timur) dengan empat
maha samudera yang mengelilingnya. Di masing-masing benua terdapat penguasanya
masing-masing sehingga dikatakan terdapat empat ribu maharaja dalam seribu tata
surya tersebut. Selanjutnya dalam seribu tata surya terdapat seribu alam surga
yang diliputi nafsu inderawi (alam Catummaharajika, Tavatimsa, Yama, Tusita,
Nimmnarati, Paranimmitavassavati) dan seribu alam surga yang tidak diliputi
nafsu inderawi (alam Brahma). Tentu saja alam semesta lebih luas dari sekedar
seribu tata surya karena Buddha menyebut sampai adanya 1.000 x 1.000 x 1.000 =
1.000.000.000 tata surya bahkan melebihi itu lagi di mana suara seorang Buddha
dapat diperdengarkan melebihi jangkauan semilyar tata surya. Dari penjelasan
ini kita dapat mengatakan bahwa kemungkinan terdapat kehidupan lain di alam
semesta selain kehidupan manusia di bumi kita ini.
Hal ini dapat dilihat dari pernyataan bahwa terdapat empat
ribu maharaja di seribu bumi dalam seribu tata surya, yang menggambarkan bahwa
masing-masing bumi (atau lebih tepat disebut planet yang memiliki kehidupan)
dalam seribu tata surya tersebut memiliki makhluk hidup yang dipimpin oleh para
pemimpin mereka masing-masing. Kemungkinan kisah-kisah alien dan UFO yang
beredar selama ini juga tersisip suatu kebenaran. Struktur Alam Semesta Lainnya
Sutra lain yang banyak menggambarkan alam semesta adalah Avatamsaka Sutra yang
berbahasa Sanskerta. Berikut ini terdapat beberapa kutipan Avatamsaka Sutra bab
4 yang berkaitan dengan kosmologi Buddhis: “Putera-putera Buddha, sistim-sistim
dunia (galaksi) tersebut memiliki aneka bentuk dan sifat-sifat yang berbeda.
Jelasnya, beberapa di antaranya bulat bentuknya, beberapa di antaranya segi
empat bentuknya, beberapa di antaranya tidak bulat dan tidak pula segiempat.
Ada perbedaan [bentuk] yang tak terhitung. Beberapa bentuknya seperti pusaran,
beberapa seperti gunung kilatan ahaya, beberapa seperti pohon, beberapa seperti
bunga, beberapa seperti istana, beberapa seperti makhluk hidup, beberapa
seperti Buddha….”
Penjelasan di atas menggambarkan terdapat berbagai bentuk
sistem dunia (yang mungkin dapat disamakan dengan galaksi). Menurut hasil
pengamatan, beberapa galaksi seperti galaksi Bima Sakti kita dan Andromeda
berbentuk spiral (pusaran), beberapa seperti galaksi M47 dan M89 berbentuk
elips (bulat), beberapa berbentuk tidak beraturan (tidak bulat dan tidak
segiempat) seperti galaksi Awan Magellan dan M82, dan beberapa lainnya
berbentuk seperti makhluk hidup misalnya Nebula Kepala Kuda.
“Terdapat beberapa sistim
dunia, Terbentuk dari permata, Kokoh dan tak terhancurkan, Bernaung di atas
bunga teratai nan berharga.” “Beberapa di antaranya terbentuk dari berkas
cahaya murni, Yang asalnya tak dikenal, Semuanya merupakan berkas-berkas
cahaya, Bernaung di ruang kosong.” “Beberapa di antaranya terbentuk dari cahaya
murni, Dan juga bernaung pada pancaran-pancaran cahaya, Diselubungi oleh awan
cahaya, Tempat di mana para Bodhisattva berdiam.”
Ini menjelaskan komposisi galaksi di alam semesta: ada yang
terdiri atas materi (yang digambarkan seperti permata), ada yang terdiri dari
sinar kosmis (yang digambarkan sebagai berkas cahaya), dan ada yang diselubungi
awan gas nebula (yang digambarkan sebagai awan cahaya).
“Siswa-siswa Buddha, jika dijelaskan secara singkat, terdapat
sepuluh penyebab dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya sistim dunia, baik
yang telah berlangsung, sedang berlangsung, atau akan berlangsung. Apakah
sepuluh hal itu?
Kesepuluh hal itu adalah:
1) Karena kekuatan gaib para Buddha
2) Terbentuk secara alami oleh hukum alam
3) Karena akumulasi karma para makhluk
4) Karena apa yang telah direalisasi oleh para Bodhisattva
yang mengembangkan kemaha-tahuan.
5) Karena akar kebajikan yang diakumulasi baik oleh para
Bodhisattva dan semua makhluk.
6) Karena kekuatan ikrar para Bodhisattva yang memurnikan
dunia-dunia itu.
7) Karena para Bodhisattva telah menyempurnakan praktek
kebajikan dengan pantang mundur.
8) Karena kekuatan kebebasan para Bodhisattva dalam kebajikan
murni.
9) Karena kekuatan independen yang mengalir dari akar
kebajikan semua Buddha dan saat pencerahan semua Buddha.
10) Karena kekuatan independen ikrar Bodhisattva Kebajikan
Universal.”
Kutipan di atas menjelaskan penyebab terbentuknya galaksi
yang salah satunya disebabkan oleh bekerjanya hukum alam sesuai dengan teori
kosmologi modern, sedangkan penyebab lainnya merupakan hasil dari perbuatan
(karma) atau kebajikan makhluk hidup apakah makhluk biasa, seorang Bodhisattva
(calon Buddha), ataupun seorang Buddha. Berikut ini terdapat beberapa kutipan
dari Avatamsaka Sutra bab 5: “Sistem Dunia Tepian Bunga, Adalah sama dengan
jagad raya, Perhiasannya sungguh murni, Berada dengan damai di ruang angkasa.”
Ini menyiratkan bahwa benda-benda langit di alam semesta berada dalam ruang
angkasa tanpa ada sesuatu yang menahannya di tempatnya (tidak seperti
kepercayaan orang Yunani yang meyakini Atlas memangkul bumi di atas
punggungnya).
“Dalam setiap sistem dunia
itu, Terdapat dunia-dunia yang banyaknya tak terbayangkan, Beberapa diantaranya
sedang tercipta, Beberapa di antaranya sedang menuju kemusnahannya, Beberapa di
antaranya bahkan telah musnah.”
Menurut kosmologi Buddhis, dunia-dunia (dalam istilah
astronomi mungkin bisa disamakan dengan planet atau benda langit lainnya) di
alam semesta ada yang sedang terbentuk, ada yang sedang berproses menuju
kehancuran, dan ada yang sudah hancur seperti pada kutipan di atas.
Siklus Alam Semesta Menurut agama Buddha, alam
semesta telah mengalami banyak siklus pembentukan dan kehancuran yang tidak
terhitung. Periode dari terbentuknya alam semesta sampai dengan kehancurannya
disebut mahakappa atau mahakalpa. Lamanya satu siklus semesta atau satu
mahakappa tidak pernah dihitung dalam angka tahun yang pasti, tetapi hanya
dikatakan sangat lama. Buddha menjelaskan lamanya satu mahakappa sebagai
berikut:
“Andaikan, para bhikkhu,
terdapat sebuah batu besar yang bermassa padat, satu mil panjangnya, satu mil
lebarnya, satu mil tingginya, tanpa ada retak atau cacat, dan setiap seratus
tahun sekali seseorang akan datang dan menggosoknya dengan sehelai kain sutra,
maka batu tersebut akan aus dan habis lebih cepat daripada satu siklus dunia. Namun
dari siklus-siklus dunia tersebut, para bhikkhu, banyak yang telah dilewati,
beratus-ratus, beribu-ribu, beratus-ratus ribu. Bagaimana hal ini mungkin?
Tidak terbayangkan, para bhikkhu, lingkaran kehidupan (samsara) ini, tidak
dapat ditemukan awal mula dari makhluk pertama, yang dihalangi oleh
ketidaktahuan dan diliputi oleh nafsu keinginan, berkelana ke sana ke mari
dalam lingkaran kelahiran kembali ini.” (Samyutta Nikaya, XV:5)
Dengan demikian usia alam semesta dari terbentuknya sampai
kehancurannya sangatlah panjang, tidak terhitung bahkan dalam milyaran tahun.
Karena terdapat banyak sekali siklus pembentukan dan kehancuran alam semesta,
maka tidak dapat diketahui bagaimana awal mula makhluk pertama yang terdapat
dalam lingkaran kehidupan dan kematian ini. Dalam hal ini agama Buddha
cenderung menganggap awal mula pertama alam semesta tidak dapat dijangkau oleh
pikiran manusia biasa (acinteyya), oleh sebabnya menyerahkan persoalan ini
sepenuhnya kepada ilmu pengetahuan.
Lebih lanjut siklus alam semesta dibagi menjadi empat periode
yang disebut asankheyya kappa (masa tak terhitung), yaitu:
1. Periode kehancuran (samvatta-kappa).
2. Periode berlangsungnya kehancuran
(samvattatthayi-kappa).
3. Periode pembentukan (vivatta-kappa).
4. Periode berlangsungnya pembentukan
(vivattatthayi-kappa).
“Berapa lama kehancuran
dunia akan terjadi, berapa lama berlangsungnya kehancuran, berapa lama
pembentukan, berapa lama berlangsungnya pembentukan, dari hal-hal demikian,
para bhikkhu, seseorang akan sukar mengatakan bahwa ini akan terjadi
bertahun-tahun, atau berabad-abad, atau beribu-ribu tahun, atau beratus-ratus
ribu tahun,”
Demikianlah sabda Sang Buddha tentang lamanya setiap periode
dalam satu siklus alam semesta dalam Anguttara Nikaya IV:156 yang menyiratkan
bahwa panjang masing-masing periode tersebut tak terhitung lamanya.
Periode pertama dari siklus semesta dimulai saat terjadinya
hujan deras yang menyirami seratus milyar tata surya (kotisatasahassa
cakkavala) sampai padamnya api (jika alam semesta hancur karena api), surutnya
air (jika alam semesta hancur karena air), atau redanya angin besar (jika alam
semesta hancur karena angin). Dengan demikian, kehancuran alam semesta dapat
disebabkan oleh unsur api, air atau angin.
Dalam agama Buddha setiap materi (rupa) dibentuk dari 4 unsur
dasar (mahabhuta), yaitu:
1. Unsur tanah: unsur yang memberi
landasan atau fondasi bagi unsur lainnya, yang bersifat padat dan memberi ruang
(spasial).
2. Unsur api: unsur yang berkenaan dengan
suhu dan energi, termasuk di dalamnya energi kalor, radiasi, dan cahaya.
3. Unsur air: unsur yang memiliki
sifat kohesi (gaya tarik-menarik antar partikel yang sejenis) atau adhesi (gaya
tarik-menarik antar partikel yang tidak sejenis) seperti zat cair dan
sejenisnya.
4. Unsur angin: unsur yang memberi
unsur lainnya kemampuan gerak atau tekanan, misalnya gaya dan tekanan
udara/atmosfer.
Kehancuran semesta oleh api digambarkan sebagai berikut:
Karena terjadinya hujan deras yang jatuh di seluruh alam semesta, manusia
bergembira, mereka mengeluarkan benih simpanan mereka, dan menanamnya, tetapi
ketika kecambah mulai tumbuh cukup tinggi bagi anak sapi untuk merumput, tiada
lagi hujan yang turun setetes pun sejak saat itu. Para mahluk yang hidupnya
bergantung dari air hujan menjadi mati dan terlahir kembali di alam Brahma,
begitu juga para dewa yang hidupnya tergantung pada buah-buahan dan bunga.
Setelah melewati periode yang sangat panjang dalam kemarau seperti ini, air
mulai mengering sehingga para makhluk air seperti ikan dan kura-kura mati dan
terlahir kembali di alam Brahma.
Demikian juga para mahluk penghuni neraka (ada juga yang
mengatakan para mahluk penghuni neraka mati dengan kemunculan matahari
ketujuh). Setelah beberapa periode yang sangat lama, akan muncul matahari kedua,
di mana ketika matahari pertama tenggelam, matahari kedua akan terbit sehingga
siang dan malam tidak bisa dibedakan serta bumi terus-menerus diterpa terik
matahari. Angkasa akan menjadi hampa tanpa kehadiran awan dan uap air. Dimulai
dengan anak sungai, air di semua sungai, kecuali sungai-sungai besar, akan
menguap. Setelah waktu yang panjang berlalu matahari ketiga muncul. Dengan
munculnya matahari ketiga air dari semua sungai besar juga menguap. Kemudian
setelah periode yang lama berlalu matahari keempat muncul, danau-danau besar
yang menjadi sumber mata air sungai-sungai besar juga ikut menguap. Setelah
sekian lama berlalu akan muncul matahari kelima di mana air yang tersisa di
samudera tidak cukup tinggi untuk membasahi satu ruas jari tangan. Kemudian di
akhir periode itu muncullah matahari keenam yang membuat seluruh dunia menguap
menjadi gas, semua kelembabannya telah menguap, seratus milyar tata surya yang
ada di sekeliling tatasurya kita sama nasibnya seperti tata surya kita. Setelah
lama berlalu matahari ketujuh muncul. Setelah munculnya matahari ketujuh,
seluruh dunia (tatasurya kita) bersama dengan seratus milyar tatasurya yang
lain terbakar habis.
Puncak gunung Sineru yang tingginya lebih dari seratus yojana
(1 yojana kurang lebih sama dengan 7 mil) juga ikut hancur berantakan dan
lenyap di angkasa. Kebakaran bertambah besar dan menyerang alam surga
Catumaharajika sampai ke alam Brahma di mana api akan berhenti sebelum mencapai
alam Brahma Abhassara. Selama masih ada bentuk walaupun seukuran atom, api itu
tidak lenyap karena api hanya lenyap setelah semua materi musnah terbakar,
seperti api yang membakar ghee (lemak yang berasal dari susu) dan minyak tidak
meninggalkan debu. Sedangkan kehancuran oleh air, kejadiannya sama seperti
kehancuran oleh api, hanya saja setelah hujan deras yang meliputi seluruh alam
semesta, muncul awan kaustik yang maha besar (kharudaka) yang menyebabkan
hujan. Hujan tersebut mulanya turun perlahan-lahan kemudian sedikit demi
sedikit bertambah besar sampai menyirami seratus milyar tata surya. Air
merendam semua yang ada di bumi sampai ke alam surga ke atas dan berhenti
sebelum mencapai alam Brahma Subhakinha. Air tersebut tak akan surut apabila
masih ada materi yang tersisa walaupun hanya sebesar atom dan hanya akan surut apabila
semua materi telah larut. Kehancuran alam semesta karena angin mirip dengan
kehancuran oleh api dan air, yaitu diawali dengan munculnya hujan yang
mengawali kehancuran semesta, tetapi bila kehancuran karena api muncul matahari
kedua, maka pada kehancuran oleh angin muncullah angin. Pertama kali muncul
angin yang menerbangkan debu kasar kemudian debu halus lalu pasir halus, pasir
kasar, kerikil, batu dan seterusnya sampai mengangkat batu sebesar batu nisan
dan meniup pohon-pohon besar dari bumi ke luar angkasa dan tidak jatuh kembali
ke bumi, tetapi hancur berkeping-keping dan musnah. Kemudian angin muncul dari
bawah permukaan bumi dan membalikkan bumi, melemparnya ke angkasa. Bumi hancur
menjadi pecahan kecil-kecil dan terlempar ke angkasa juga, hancur
berkeping-keping lalu musnah. Gunung-gunung di seluruh tata surya dan gunung
Sineru tercabut ke luar angkasa dan saling bertumbukan hingga hancur
berkeping-keping lalu lenyap.
Dengan cara yang sama angin menghancurkan alam surga yang ada
di bumi dan yang ada di angkasa. Kekuatan angin itu meningkat terus dan
menghancurkan keenam alam surga (dari Catumaharajika sampai ke
Paranimmitavasavatti). Seratus milyar tata surya ikut hancur juga karena saling
bertabrakan. Angin akan menghancurkan semua materi sampai ke alam Brahma dan
berhenti sebelum sampai di alam Brahma Vehapphala. Penyebab kehancuran alam
semesta ini tak lain adalah tiga akar kejahatan, yaitu keserakahan (lobha),
kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha). Jika para makhluk memiliki
keserakahan yang lebih dominan, maka alam semesta akan hancur oleh api; jika
kebencian lebih dominan, maka alam semesta akan hancur oleh air; jika kebodohan
batin (yaitu ketidakmampuan membedakan mana yang benar dan mana yang salah),
maka alam semesta akan hancur karena angin. Ketika seluruh alam semesta hancur
sampai ke alam Brahma, periode kedua, yaitu periode berlangsungnya kehancuran
dimulai.
Periode ini berakhir saat munculnya hujan deras yang menandai
akan terjadinya pembentukan semesta. Selama periode ini alam semesta dalam
keadaan kosong karena semua materi telah musnah, hanya terdapat kegelapan yang
mencekam. Setelah munculnya hujan deras yang kedua (hujan deras pertama adalah
hujan yang menandai kehancuran semesta), periode pembentukan dimulai di mana
air hujan tersebut menggenangi seluruh alam semesta yang kosong. Kemudian angin
(unsur gaya dan tekanan) muncul dan menekan serta membulatkan air tersebutnya,
seperti butir air di daun teratai. Dikarenakan tertekan oleh udara, air menyatu
dan berkurang membentuk unsur lainnya hingga menyebabkan terbentuknya kembali
berbagai alam kehidupan. Proses pembentukan alam kehidupan ini berlawanan
dengan proses kehancurannya, yaitu dimulai dari alam Brahma terlebih dahulu
lalu alam-alam surga di bawahnya, terakhir barulah matahari, bulan, dan bumi
terbentuk. Periode keempat (berlangsungnya pembentukan) dimulai setelah
munculnya benda-benda langit bersama dengan terbentuknya bumi. Kemudian humus
tertentu muncul di atas permukaan bumi, yang memiliki warna, bau dan rasa seperti
lapisan di atas permukaan tajin yang berasal dari cucian beras.
Kemudian para makhluk yang saat kehancuran semesta terlahir
di alam Brahma, karena habisnya usia mereka atau habisnya karma baik mereka
yang menopang kehidupan di sana, mereka terlahir kembali di bumi (alam
manusia). Tubuh mereka bercahaya dan melayang layang di angkasa. Setelah
memakan humus tersebut, mereka dikuasai oleh kemelekatan seperti yang di
uraikan dalam Aganna Sutta (Digha Nikaya III:85). Setelah waktu yang lama,
sesuai dengan makanan yang mereka konsumsi, tubuh para makhluk tersebut semakin
memadat dan semakin mirip dengan tubuh manusia. Mereka kehilangan cahaya
tubuhnya dan mulai menampakkan perbedaan fisik sebagai laki-laki dan perempuan
sesuai dengan perbuatan masa lampau mereka. Ketika makhluk-makhluk tersebut
saling melihat perbedaan tubuh mereka, timbul nafsu yang menyebabkan mereka
saling tertarik dengan lawan jenisnya. Kemudian muncullah tempat tinggal yang
dibangun untuk menyembunyikan aktivitas seksual mereka. Lalu kejahatan seperti
pencurian dan kekerasan muncul di antara mereka sehingga mereka membangun
stratifikasi sosial. Sistem pemerintahan pun terbentuk dan seorang yang
dianggap mampu dipilih sebagai pemimpin mereka. Selanjutnya, masing-masing
periode asankheyya kappa dalam satu siklus semesta dibagi lagi menjadi 64
periode yang disebut antara kappa (masa peralihan), yaitu periode yang
berlangsung ketika usia manusia menurun dari tak terhitung (asankhyeyya)
menjadi sepuluh tahun lalu naik lagi menjadi tak terhitung.
Lamanya 1 antara kappa ini pun tidak pernah dihitung dalam
hitungan tahun. Dengan demikian, 1 siklus alam semesta = 4 periode asankheyya
kappa = 4 x 64 periode antara kappa. Pada periode asankheyya kappa pertama
sampai ketiga tidak terdapat makhluk hidup sehingga tidak dapat dihitung kapan
peralihan antara satu antara kappa dengan antara kappa lain, namun lamanya
masing-masing periode asankheyya kappa tersebut sama dengan 64 antara kappa
seperti pada periode asankheyya kappa keempat di mana manusia muncul.
Pada awal kemunculannya di bumi manusia memiliki usia yang
sangat panjang yang tidak terhitung. Kemudian karena timbulnya tiga akar
kejahatan (lobha, dosa, dan moha) perlahan-lahan umur rata-rata manusia
berkurang menjadi 80.000 tahun pada generasi berikutnya. Ketika manusia mulai
mengenal pencurian dan pembunuhan, umur rata-rata generasi berikutnya berkurang
menjadi 40.000 tahun; ketika mengenal kebohongan, umur rata-rata generasi
berikutnya berkurang menjadi 20.000 tahun; ketika mengenal tindakan mengadukan kejahatan
orang lain, umur rata-rata generasi berikutnya berkurang menjadi 10.000 tahun;
ketika mengenal perbuatan asusila, umur manusia berkurang menjadi 5.000 tahun;
ketika mengenal ucapan kasar dan pembicaraan yang tidak bertujuan (omong
kosong), umur manusia menjadi 2.500 tahun dan beberapa ada yang berumur 2.000
tahun; ketika muncul sifat iri hati dan kebencian, umur manusia menjadi 1.000
tahun; ketika muncul pandangan salah, umur manusia menjadi 500 tahun; ketika
muncul hubungan seksual sedarah, keserakahan berlebihan, dan hubungan seksual
sesama jenis, umur manusia menjadi 250 tahun dan beberapa ada yang berumur 200
tahun; ketika manusia kurang menghormati orang tua, pemuka agama, dan tokoh
masyarakat, umur mereka berkurang menjadi 100 tahun. Lama-kelamaan kejahatan
akan semakin disenangi dan kebajikan akan semakin dijauhi hingga akhirnya umur
manusia tinggal 10 tahun saja di mana bagi para wanita usia 5 tahun adalah usia
untuk menikah.
Semua proses penurunan usia ini dijelaskan dalam
Cakkavatti-sihanada Sutta (Digha Nikaya, III:26). Pada masa ketika manusia
berusia 10 tahun akan terjadi kekurangan makanan dalam tujuh hari yang
membinasakan semua orang jahat jika penurunan usia ini disebabkan oleh
meningkatnya keserakahan. Jika penurunan ini disebabkan oleh meningkatnya
kebodohan batin, akan terjadi wabah penyakit dalam tujuh hari dan semua orang
jahat akan binasa. Jika penurunan ini disebabkan oleh meningkatnya kebencian,
akan terjadi saling bunuh di antara sesama manusia dengan menggunakan senjata
dalam masa tujuh hari dan semua orang jahat akan binasa. Beberapa orang yang
bersembunyi dan menyelamatkan diri dari bencana ini (kelaparan, wabah penyakit,
atau pembunuhan besar-besaran). Setelah tujuh hari mereka akan keluar dan
menyesali kejahatan mereka dengan bertekad untuk tidak melakukan pembunuhan
lagi. Karena tidak melakukan pembunuhan lagi, usia manusia pada generasi
berikutnya bertambah menjadi 20 tahun. Karena tidak melakukan pencurian,
kebohongan, fitnah, ucapan kasar, pembicaraan tidak berguna, iri hari,
permusuhan, pandangan salah, hubungan seksual sedarah, keserakahan berlebihan,
hubungan seksual sesama jenis, dan menghormati orang tua, pemuka agama, dan
tokoh masyarakat, usia manusia perlahan-lahan menaik menjadi 40 tahun, 80
tahun, 160 tahun, 320 tahun, 640 tahun, 1.000 tahun, 2.000 tahun, 4.000 tahun,
8.000 tahun, 20.000 tahun, 40.000 tahun, dan 80.000 tahun pada
generasi-generasi berikutnya. Pada masa ketika usia manusia 80.000 tahun, usia
5.000 tahun merupakan usia pernikahan untuk para wanita. Ketika kebajikan
berkembang dan kejahatan tidak dikenal sama sekali, manusia akan mencapai usia
yang sangat panjang yang tidak terhitung. Demikianlah umur kehidupan manusia
naik dari sepuluh tahun hingga tidak terhingga saat mereka mengembangkan kebajikan
dan turun dari tidak terhingga menjadi sepuluh tahun saat mereka dikuasai oleh
kejahatan.
Hal ini akan terus berulang-ulang sampai 64 kali selama masa
asankheyya kappa keempat hingga akhirnya siklus berulang dan kembali ke periode
kehancuran. Pada periode berlangsungnya pembentukan semesta yang kita alami
saat ini telah muncul empat orang Buddha (yaitu Kakusandha, Konagamana atau
Kanakamuni, Kassapa, dan Gautama atau Sakyamuni) dan akan muncul lagi seorang
Buddha (yaitu Metteya atau Maitreya) pada masa yang akan datang. Karena
kemunculan 5 orang Buddha pada siklus semesta kita saat ini, maka periode ini
disebut bhaddakappa atau bhadrakalpa (masa keberuntungan). Dalam beberapa
siklus semesta lainnya tidak muncul seorang Buddha pun (disebut sunyakappa/sunyakalpa
atau masa kosong), sedangkan yang lain muncul satu sampai dengan maksimum lima
orang Buddha. Pada periode antara kappa kedelapan dalam masa asankheyya kappa
saat ini, ketika usia manusia menurun perlahan-lahan dari tak terhingga menjadi
40.000 tahun, Buddha Kakusandha muncul di dunia.
Setelah Buddha Kakusandha wafat, usia manusia perlahan-lahan
turun dari 40.000 tahun menjadi 10 tahun kemudian naik lagi menjadi tak
terhingga. Setelah itu usia manusia kembali turun menjadi 30.000 tahun. Saat
inilah muncul Buddha Konagamana di dunia. Setelah Buddha Konagamana wafat, usia
manusia turun perlahan-lahan dari 30.000 tahun menjadi 10 tahun kemudian naik
lagi menjadi tak terhingga. Saat usia manusia kembali turun menjadi 20.000
tahun, Buddha Kassapa muncul di dunia. Setelah Buddha Kassapa wafat, umur
manusia turun perlahan-lahan menjadi 10 tahun lalu naik menjadi tak terhingga.
Ketika umur manusia turun perlahan-lahan dari tak terhingga menjadi 100 tahun
saja, Buddha Gautama yang kita kenal dalam sejarah muncul. Saat ini usia
rata-rata kehidupan manusia semakin berkurang karena semakin menurunnya
moralitas manusia itu sendiri.
Ajaran Buddha Gautama yang sekarang dikenal sebagai agama
Buddha pun akan perlahan-lahan dilupakan dan lenyap sekitar 5000 tahun setelah
wafatnya Buddha Gautama. Kelak penurunan usia manusia akan mencapai puncaknya
ketika usia manusia tinggal 10 tahun. Saat itu akan terjadi tujuh hari “masa
pedang”, yaitu pembunuhan besar-besaran sesama manusia dengan senjata (yang
diumpamakan dalam sutta sebagai pedang) karena meningkatnya kebencian. Setelah
tujuh hari berlalu, banyak orang akan terbunuh dan mereka yang selamat akan
mulai menyadari kesalahan mereka serta mengembangkan kebajikan kembali.
Akibatnya umur manusia akan perlahan-lahan meningkat menjadi tak terhingga dan
kemudian turun menjadi 80.000 tahun. Ketika usia manusia 80.000 tahun, Buddha
yang akan datang, Metteya, akan muncul di dunia. Tidak ada angka tahun yang
pasti antara kemunculan Buddha Gautama dengan kemunculan Buddha Metteya kelak seperti
juga tidak ada angka tahun yang pasti antara kemunculan Buddha-Buddha
sebelumnya.
Kemudian pada masa yang akan datang yang jauh setelah
wafatnya Buddha Metteya, keadaan moral manusia akan semakin memburuk. Pada
akhir antara kappa ke-64 akan turun hujan deras yang mengguyur bumi bersama
seluruh tata surya lainnya yang menandai akan terjadinya kehancuran alam
semesta. Saat inilah siklus akan berulang kembali ke periode kehancuran
(samvatta-kappa) di mana alam semesta kita saat ini akan hancur oleh api.
Penutup Demikianlah gambaran kosmologi menurut agama Buddha. Walaupun sebagian
gambaran kosmologi ini mendekati konsep astronomi modern, kosmologi
Buddhis tidak sepenuhnya sesuai dengan ilmu pengetahuan karena ia menggambarkan
proses di alam semesta berdasarkan hukum alam yang juga dipengaruhi oleh
perbuatan semua makhluk dan kekuatan para makhluk suci seperti para Bodhisattva
dan para Buddha. Sesungguhnya kosmologi Buddhis yang dijelaskan di sini hanya
membahas kosmologi temporal (usia dan siklus alam semesta) dan sebagian
kosmologi spasial (struktur alam semesta) karena tidak membicarakan tentang
alam-alam kehidupan para makhluk dari alam neraka sampai dengan alam
Arupabrahma yang semuanya ada 31 alam.