Berikut penjelasan lebih
mendetil tentang masing-masing obyek meditasi diatas :
1. Sepuluh kasina (sepuluh
wujud benda)
2. Dalam kasina tanah,
dapat dipakai kebun yang baru dicangkul atau segumpal tanah yang dibulatkan.
Dalam kasina air, dapat dipakai sebuah telaga atau air yang ada di dalam ember.
Dalam kasina api, dapat dipakai api yang menyala yang di depannya diletakkan
seng yang berlobang. Dalam kasina angin, dapat dipakai angin yang berhembus di
pohon-pohon atau badan. Dalam kasina warna, dapat dipakai benda-benda seperti
bulatan dari kertas, kain, papan, atau bunga yang berwarna biru, kuning, merah,
atau putih. Dalam kasina cahaya, dapat dipakai cahaya matahari atau bulan yang
memantul di dinding atau di lantai melalui jendela dan lain-lain. Dalam kasina
ruangan terbatas, dapat dipakai ruangan kosong yang mempunyai batas-batas
disekelilingnya seperti drum dan lain-lain.Disini, mula-mula orang harus
memusatkan seluruh perhatiannya pada bulatan yang berwarna biru misalnya.
Selanjutnya, dengan memandang terus pada bulatan itu, orang harus berjuang agar
pikirannya tetap berjaga-jaga, waspada, dan sadar. Sementara itu, benda-benda
di sekeliling bulatan tersebut seolah-olah lenyap, dan bulatan tersebut
kelihatan menjadi makin semu dan akhirnya sebagai bayangan pikiran saja. Kini,
walaupun mata dibuka atau ditutup, orang masih melihat bulatan biru itu di
dalam pikirannya, yang makin lama makin terang seperti bulatan dari rembulan.
3. Sepuluh asubha (sepuluh
wujud kekotoran)
4. Dalam sepuluh asubha
ini, orang melihat atau membayangkan sesosok tubuh yang telah menjadi mayat
diturunkan ke dalam lubang kuburan, membengkak, membiru, bernanah, terbelah di
tengahnya, dikoyak-koyak oleh burung gagak atau serigala, hancur dan membusuk,
berlumuran darah, dikerubungi oleh lalat dan belatung, dan akhirnya merupakan
tengkorak. Selanjutnya, ia menarik kesimpulan terhadap badannya sendiri, “Badanku
ini juga mempunyai sifat-sifat itu sebagai kodratnya, tidak dapat dihindari”.
Disinilah hendaknya orang memegang dengan teguh di dalam pikirannya obyek yang
berharga yang telah timbul, seperti gambar pikiran mengenai mayat yang
membengkak dan lain-lain.
5. Sepuluh anussati
(sepuluh macam perenungan)
6. Dalam Buddhanussati,
direnungkan sembilan sifat Buddha. Kesembilan sifat Buddha tersebut adalah maha
suci, telah mencapai penerangan sempurna, sempurna pengetahuan dan tingkah
lakunya, sempurna menempuh jalan ke Nibbana, pengenal semua alam, pembimbing
manusia yang tiada taranya, guru para dewa dan manusia, yang sadar, yang patut
dimuliakan.Dalam Dhammanussati, direnungkan enam sifat Dhamma. Keenam sifat
Dhamma itu adalah telah sempurna dibabarkan, nyata di dalam kehidupan, tak
lapuk oleh waktu, mengundang untuk dibuktikan, menuntun ke dalam batin, dapat
diselami oleh para bijaksana dalam batin masing-masing.Dalam Sanghanussati,
direnungkan sembilan sifat Ariya-Sangha. Kesembilan sifat Ariya-Sangha itu
adalah telah bertindak dengan baik, telah bertindak lurus, telah bertindak
benar, telah bertindak patut, patut menerima persembahan, patut menerima tempat
bernaung, patut menerima bingkisan, patut menerima penghormatan, lapangan untuk
menanam jasa yang tiada taranya di alam semesta.Dalam silanussati, direnungkan
sila yang telah dilaksanakan, yang tidak patah, yang tidak ternoda, yang dipuji
oleh para bijaksana, dan menuju pemusatan pikiran.Dalam caganussati,
direnungkan kebajikan berdana yang telah dilaksanakan, yang menyebabkan
musnahnya kekikiran.Dalam devatanussati, direnungkan makhluk-makhluk agung atau
para dewa yang berbahagia, yang sedang menikmati hasil dari perbuatan baik yang
telah dilakukannya.Dalam marananussati, orang harus merenungkan bahwa pada
suatu hari, kematian akan datang menyongsongku dan makhluk lainnya; bahwa badan
ini harus dibagi-bagikan olehku kepada ulat-ulat, kutu, belatung, dan binatang
lainnya yang hidup dengan ini; bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui
kapan, di mana, dan melalui apa orang akan meninggal, serta keadaan yang
bagaimana menungguku setelah kematian.
Dalam kayagatasati, orang merenungkan 32 bagian anggota tubuh, dari telapak
kaki ke atas dan dari puncak kepala ke bawah, yang diselubungi kulit dan penuh
kekotoran; bahwa di dalam badan ini terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku,
gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, selaput dada,
limpa, paru-paru, usus, saluran usus, perut, kotoran, empedu, lendir, nanah,
darah, keringat, lemak, air mata, minyak kulit, ludah, ingus, cairan sendi, air
kencing, dan otak.
Dalam anapanasati, orang merenungkan keluar masuknya napas. Dengan sadar ia
menarik napas, dengan sadar ia mengeluarkan napas.
Dalam upasamanussati, orang merenungkan Nibbana atau Nirwana yang terbebas
dari kekotoran batin, hancurnya keinginan, putusnya lingkaran tumimbal lahir.
7. Empat appamañña (empat
keadaan yang tidak terbatas)
8. Empat appamañña ini
sering disebut juga sebagai Brahma-Vihara (kediaman yang luhur). Dalam
melaksanakan metta-bhavana, seseorang harus mulai dari dirinya sendiri, karena
ia tidak mungkin dapat memancarkan cinta kasih sejati bila ia membenci dan
meremehkan dirinya sendiri. Setelah itu, cinta kasih dipancarkan kepada orang
tua, guru-guru, teman-teman laki-laki dan wanita sekaligus.Akhirnya, yang
tersulit adalah memancarkan cinta kasih kepada musuh-musuhnya. Dalam hal ini
mungkin timbul perasaan dendam atau sakit hati. Namun, hendaknya diusahakan
untuk mengatasi kebencian itu dengan merenungkan sifat-sifat yang baik dari
musuhnya dan jangan menghiraukan kejelekan-kejelekan yang ada padanya. Perlu
diingat bahwa kebencian hanya dapat ditaklukkan dengan cinta kasih.Dalam
karuna-bhavana, orang memancarkan belas kasihan kepada orang yang sedang
ditimpa kemalangan, diliputi kesedihan, kesengsaraan, dan penderitaan.Dalam
mudita-bhavana, orang memancarkan perasaan simpati kepada orang yang sedang
bersuka-cita; ia turut berbahagia melihat kebahagiaan orang lain.Dalam upekkha-bhavana,
orang akan tetap tenang menghadapi suka dan duka, pujian dan celaan, untung dan
rugi.
9. Satu aharapatikulasañña
(satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan)
Dalam satu aharapatikulasañña, direnungkan bahwa makanan adalah barang yang
menjijikkan bila telah berada di dalam perut; direnungkan bahwa apapun yang
telah dimakan, diminum, dikunyah, dicicipi, semuanya akan berakhir sebagai
kotoran (tinja) dan air seni (urine).
10. Satu catudhatuvavatthana
(satu analisa terhadap keempat unsur yang ada di dalam badan jasmani)
Dalam satu catudhatuvavatthana, direnungkan bahwa di dalam badan jasmani
terdapat empat unsur materi, yaitu :
1. Pathavi-dhatu (unsur
tanah atau unsur padat), ialah segala sesuatu yang bersifat keras atau padat. Umpamanya : rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, dan lain-lain.
2. Apo-dhatu (unsur air
atau unsur cair), ialah segala sesuatu yang bersifat berhubungan yang satu
dengan yang lain atau melekat. Umpamanya : empedu, lendir, nanah, darah, dan
lain-lain.
3.Tejo-dhatu (unsur api
atau unsur panas), ialah segala sesuatu yang bersifat panas dingin. Umpamanya : setelah selesai makan dan minum, atau bila sedang sakit, badan akan terasa
panas dingin.
4. Vayo-dhatu (unsur angin
atau unsur gerak), ialah segala sesuatu yang bersifat bergerak. Umpamanya : angin yang ada di dalam perut dan usus, angin yang keluar masuk waktu bernapas,
dan lain-lain.
2. LIMA MACAM NIVARANA DAN SEPULUH MACAM PALIBODHA
Lima macam nivarana
Nivarana berarti rintangan atau penghalang batin yang selalu menghambat
perkembangan pikiran. Nivarana ini ada lima macam, yaitu:
1. Kamachanda (nafsu-nafsu
keinginan)
2. Byapada (kemauan jahat)
3. Thina-middha (kemalasan
dan kelelahan)
4. Uddhacca-kukkucca
(kegelisahan dan kekhawatiran)
5. Vicikiccha (keragu-raguan)
Untuk menaklukkan kelima rintangan
tersebut, orang harus mengetahui sebab-sebab timbulnya nivarana dan berusaha
menghindari sebab-sebab itu serta melakukan usaha-usaha yang dapat melenyapkan
nivarana itu.
Nafsu-nafsu keinginan (kamachanda) akan
timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan obyek yang indah, tanpa
disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari nafsu keinginan, hendaknya
orang senantiasa melaksanakan meditasi dengan memakai obyek yang kotor atau
menjijikkan dan berusaha menghindari obyek-obyek yang bisa merangsang, berusaha
untuk menguasai pikiran dan mengendalikan indriya-indriyanya, senantiasa
berbicara tentang kesempurnaan hidup, tentang kepuasan, kesunyian, kebajikan,
kebebasan, bebas dari nafsu-nafsu.
Kemauan jahat (byapada) akan timbul
apabila orang berulang-ulang memperhatikan obyek yang menyebabkan timbulnya
kebencian, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk menaklukkan kemauan jahat
hendaknya orang senantiasa melaksanakan meditasi cinta kasih, senantiasa ingat
bahwa setiap orang adalah pemilik dan pewaris dari perbuatannya sendiri.
Kemalasan dan kelelahan (thina-middha)
akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan rasa segan, rasa malas,
kelelahan, mengantuk sesudah makan, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk
membebaskan diri dari kemalasan dan kelelahan, orang hendaknya senantiasa
merenungkan suatu cahaya sampai terserap ke dalam batin, senantiasa melihat
penderitaan di dalam ketidak-kekalan, senantiasa merenungkan ajaran-ajaran Sang
Buddha dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kegelisahan dan kekhawatiran
(uddhacca-kukkucca) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan
ketidak-tenteraman pikiran, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk mengatasi
kegelisahan dan kekhawatiran, orang hendaknya senantiasa mempelajari dan
memahami kitab suci Tripitaka, serta berusaha melaksanakan sila dengan
sempurna.
Keragu-raguan (vicikiccha) akan timbul
apabila orang berulang-ulang memperhatikan sesuatu yang menyebabkan timbulnya
keragu-raguan, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari
keragu-raguan, orang hendaknya senantiasa meneguhkan keyakinan pada Buddha,
Dhamma, dan Sangha.
Sepuluh macam palibodha
Palibodha berarti gangguan dalam meditasi yang menyebabkan batin gelisah
dan tidak mampu memusatkan pikiran pada obyek. Palibodha ini ada sepuluh macam,
yaitu :
1. Avasa (tempat tinggal)
2. Kula (pembantu dan orang
yang bertanggung jawab)
3. Labha (keuntungan)
4. Gana (murid dan teman)
5. Kamma (pekerjaan)
6. Addhana (perjalanan)
7. Ñati (orangtua,
keluarga, dan saudara)
8. Abadha (penyakit)
9. Gantha (pelajaran)
10. Iddhi (kekuatan gaib)
Dalam melaksanakan meditasi, pada umumnya orang yang bermeditasi sering
juga mendapat gangguan yang disebut palibodha. Ia merasa khawatir akan tempat
tinggalnya, terikat dengan rumahnya. Ia merasa khawatir akan pembantunya dan
orang yang bertanggung jawab atas harta bendanya. Ia merasa khawatir akan
persoalannya, apakah meditasi ini akan membawa keuntungan baginya. Ia merasa
khawatir akan murid-murid dan teman-temannya. Ia merasa khawatir akan
pekerjaannya yang belum selesai. Ia merasa khawatir akan perjalanan jauh yang
harus ditempuhnya. Ia merasa khawatir akan orang tuanya, keluarganya, dan
saudara-saudaranya. Ia merasa khawatir akan kemungkinan timbulnya penyakit. Ia
merasa khawatir akan pelajaran yang ditinggalkannya. Ia merasa khawatir akan
bermacam-macam kekuatan magis yang dipertunjukkan, takut akan kemerosotan
kekuatan magisnya.
Palibodha ini harus
dibasmi, agar orang dapat memusatkan pikiran dengan baik.
==>> Penjelasan Palibodha
3. ENAM MACAM CARITA
Carita berarti sifat, perangai, atau perilaku.
Di dalam Abhidhamma, terdapat pembagian sifat-sifat secara umum yang
berdasarkan atas keadaan batin manusia, yaitu manusia itu dapat dibagi menjadi
enam golongan berdasarkan sifat-sifat yang dimilikinya:
1. Orang yang keras nafsu
lobanya atau Ragacarita
2. Orang yang keras
kebenciannya atau Dosacarita
3. Orang yang bodoh (dungu)
atau Mohacarita
4. Orang yang tebal
keyakinannya atau Saddhacarita
5. Orang yang bijaksana
(pandai) atau Buddhicarita
6. Orang yang suka melamun
atau Vitakkacarita
Orang yang mempunyai ragacarita
melaksanakan sesuatu berdasarkan loba, cenderung ke arah keindahan dan
kecantikan, kagum melihat suatu kebajikan walaupun itu kecil sekali, mudah
melupakan kesalahan orang lain, cerdik, sombong, berambisi besar, mementingkan
diri sendiri. Untuk mereka yang mempunyai ragacarita, maka obyek yang baik
diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah sepuluh asubha dan satu
kayagatasati.
Orang yang mempunyai dosacarita
melaksanakan sesuatu berdasarkan kebencian, cenderung ke arah panas hati, suka
marah, suka jengkel, suka iri hati, tak senang melihat kesalahan walaupun
kecil, tak mau tahu terhadap kebajikan orang lain walaupun besar, suka
bermusuhan, memandang rendah orang lain, suka memerintah dan mendikte orang
lain. Untuk mereka yang mempunyai dosacarita, maka obyek yang baik diambil
dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah empat appamañña dan empat kasina (nila
kasina, pita kasina, lohita kasina, dan odata kasina).
Orang yang mempunyai mohacarita
melaksanakan sesuatu berdasarkan kebodohan batin, cenderung ke arah kelemahan
batin, suka bingung, suka ragu-ragu, suka khawatir, menggantungkan diri pada
pendapat orang lain, pikiran ruwet, malas, pendiriannya tidak tetap,
kadang-kadang kukuh memegang suatu pandangan. Untuk mereka yang mempunyai
mohacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana
ialah anapanasati.
Orang yang mempunyai saddhacarita
melaksanakan sesuatu berdasarkan keyakinan, cenderung ke arah rendah hati,
dermawan, jujur, suka menemui orang-orang suci, suka mendengarkan Dhamma, yakin
pada sesuatu yang dianggap baik. Untuk mereka yang mempunyai saddhacarita, maka
obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah enam anussati
(Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati, silanussati, caganussati, dan
devatanussati)
.
Orang yang mempunyai buddhicarita atau
ñanacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan berhati-hati, cenderung ke arah
perenungan terhadap Tiga Corak Umum (Tilakkhana), sering bermeditasi, bersedia
mendengarkan omongan orang lain, mempunyai kawan-kawan yang baik. Untuk mereka
yang mempunyai buddhicarita atau ñanacarita, maka obyek yang baik diambil dalam
melaksanakan Samatha Bhavana ialah marananussati, upasamanussati,
aharapatikulasañña, dan catudhatuvavatthana.
Orang yang mempunyai vitakkavcarita
melaksanakan sesuatu berdasarkan tergesa-gesa, cenderung ke arah kegugupan,
kegagalan dalam usaha, suka berteori, pikirannya sering berkeliaran, tidak suka
bekerja untuk kepentingan sosial. Untuk mereka yang mempunyai vitakkacarita,
maka obyek yang cocok untuk melaksanakan Samatha Bhavana ialah anapanasati.
Penjelasan:
Pathavi kasina, apo kasina, tejo kasina, vayo kasina, aloka kasina, akasa
kasina, dan empat arupa dapat dijadikan obyek meditasi oleh semua orang tanpa
memperhatikan caritanya.
4. TIGA MACAM NIMITTA
Nimitta berarti suatu pertanda atau
gambaran yang ada hubungannya dengan perkembangan obyek meditasi. Nimitta ini
ada tiga macam, yaitu :
1. Parikamma-Nimitta
(gambaran batin permulaan)
2. Uggaha-Nimitta (gambaran
batin mencapai)
3. Patibhaga-Nimitta
(gambaran batin berlawanan)
Mengenai parikamma-nimitta, gambaran suatu
obyek yang diambil dalam meditasi, seperti patung Buddha, mula-mula dilihat
dengan mata, kemudian dibayangkan dalam pikiran. Jadi, parikamma-nimitta
merupakan gambaran atau bentuk dari obyek dalam keadaan yang sebenarnya. Semua
obyek (empat puluh macam obyek meditasi) dapat menghasilkan parikamma-nimitta.
Mengenai uggaha-nimitta, gambaran suatu
obyek yang diambil dalam meditasi dilihat dengan batin, hingga obyek itu
melekat dalam pikiran. Jadi, uggaha-nimitta merupakan gambaran obyek di dalam
batin yang sama dengan bentuk obyek yang dipakai, walaupun mata telah
dipejamkan. Untuk mencapai uggaha-nimitta, semua obyek meditasi dapat dipakai
dalam melaksanakan Samatha Bhavana, yaitu keempat puluh obyek meditasi yang
tersebut terdahulu.
Mengenai patibhaga-nimitta, gambaran suatu
obyek yang diambil dalam meditasi yang telah melekat pada pikiran, terpeta
dengan nyata, tetap, jernih, jelas, terbebas dari gangguan, dan gambaran obyek
tersebut dapat dibesarkan serta dikecilkan menurut kemauan. Jadi,
patibhaga-nimitta merupakan gambaran pantulan dari obyek yang dipakai, yang
bentuk gambaran itu berubah menjadi sinar terang di dalam batinnya. Untuk
mencapai patibhaga-nimitta, maka obyek yang harus diambil dalam melaksanakan
Samatha Bhavana ialah sepuluh kasina, sepuluh asubha, satu kayagatasati, dan
satu anapanasati.
5. TIGA MACAM BHAVANA
Dalam meditasi, terdapat
tiga macam tingkat perkembangan batin, yaitu :
1. Parikamma-Bhavana
(perkembangan batin tingkat pendahuluan)
2. Upacara-Bhavana
(perkembangan batin tingkat mendekati konsentrasi)
3. Appana-Bhavana
(perkembangan batin tingkat terkonsentrasi dengan kuat)
Dalam parikamma-bhavana, pikiran baru akan dipusatkan pada obyek. Semua
obyek (empat puluh macam obyek meditasi) dapat menghasilkan parikamma-bhavana.
Dalam upacara-bhavana, pikiran telah siap untuk memasuki pemusatannya, dan
mulai timbulnya patibhaga-nimitta. Dalam keadaan ini, nivarana telah dapat
diatasi. Namun konsentrasi pikiran masih belum mantap. Hal ini dapat disamakan
dengan anak kecil yang baru belajar berdiri, namun masih belum mantap, sering
jatuh, tetapi ia terus berusaha. Untuk mencapai upacara-bhavana, obyek yang
harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah delapan anussati
(Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati, silanussati, caganussati,
devatanussati, marananussati, upasamanussati), satu aharapatikulasanna, dan
satu catudhatuvavatthana.
Dalam appana-bhavana, pikiran telah dapat tinggal diam dalam jangka waktu
yang lama, menurut yang dikehendakinya, karena konsentrasi yang penuh dan
mantap telah tercapai. Keadaan ini dapat diumpamakan sebagai orang yang telah
dewasa yang telah dapat berdiri dengan kuat, tak jatuh-jatuh lagi. Di samping
nivarana telah dapat diatasi, maka faktor-faktor jhana juga mulai timbul
berperanan (vitakka, vicara, piti, sukha, dan ekaggata). Obyek-obyek yang dapat
dipakai untuk mencapai appana-bhavana ialah sepuluh kasina, sepuluh asubha,
satu kayagatasati, satu anapanasati, empat appamañña, dan empat arupa.
6. PENGERTIAN JHANA
Jhana berarti kesadaran/pikiran yang memusat dan melekat kuat pada obyek
kammatthana/meditasi, yaitu kesadaran/pikiran terkonsentrasi pada obyek dengan
kekuatan appana-samadhi (konsentrasi yang mantap, yaitu kesadaran/pikiran
terkonsentrasi pada obyek yang kuat).
Jhana merupakan keadaan batin yang sudah di luar aktivitas panca indera.
Keadaan ini hanya dapat dicapai dengan usaha yang ulet dan tekun. Dalam keadaan
ini, aktivitas panca indera berhenti, tidak muncul kesan-kesan penglihatan
maupun pendengaran, pun tidak muncul perasaan badan jasmani. Walaupun
kesan-kesan dari luar telah berhenti, batin masih tetap aktif dan berjaga
secara sempurna serta sadar sepenuhnya.
Jhana hanya mampu menekan atau mengendapkan kekotoran batin untuk sementara
waktu. Ia tidak dapat melenyapkan kekotoran batin. Sewaktu-waktu jhana dapat
merosot, karena jhana tidak kekal.
7. FAKTOR-FAKTOR JHANA
Di dalam memasuki
jhana-jhana, timbullah faktor-faktor jhana yang memberi corak dan suasana bagi
tiap-tiap jhana itu. Faktor-faktor jhana tersebut ada lima macam, yaitu :
1. Vitakka, ialah penopang
pikiran yang merupakan perenungan permulaan untuk memegang obyek.
2. Vicara, ialah gema
pikiran, keadaan pikiran dalam memegang obyek dengan kuat.
3. Piti, ialah kegiuran
atau kenikmatan.
4. Sukha, ialah kebahagiaan
yang tak terhingga.
5. Ekaggata, ialah
pemusatan pikiran yang kuat.
Vitakka dan vicara adalah dua keadaan dari suatu proses yang berkelanjutan.
Kedua keadaan ini dapat diumpamakan seperti bunyi lonceng. Pada waktu lonceng
dipukul sekali, maka akan terjadi bunyi yang bergema. Bunyi lonceng pada saat
terkena pukulan merupakan vitakka, sedangkan gema dari bunyi lonceng itu
merupakan vicara. Demikian pula ketika bermeditasi. Suasana pikiran pada saat
permulaan memegang obyek disebut vitakka, sedangkan suasana pikiran yang telah
berhasil memegang obyek dengan kuat disebut vicara.
Mengenai piti, sebenarnya secara terperinci terdapat lima macam. Namun,
kiranya di sini tidak begitu perlu diuraikan.
Antara piti dan sukha terdapat pula perbedaan perasaan yang khas seperti
berikut. Apabila seseorang yang sedang dalam suatu perjalanan merasa sangat
haus, dan kemudian ia menemukan sebuah sumber air, maka ia akan merasa gembira,
senang, dan tergiur melihatnya. Perasaan ini merupakan piti, karena di sini
kegiuran timbul akibat keterbatasan dari tekanan perasaan. Selanjutnya, setelah
ia meminum air itu, maka perasaan berobah menjadi nikmat dan segar. Perasaan
ini merupakan sukha.
Dalam ekaggata, pikiran telah terpusat pada obyek dengan kuat, sehingga
kekotoran batin tidak mampu mengganggu lagi.
Vikkhambhana-Pahana adalah pembasmian nivarana dengan kekuatan jhana, yaitu
dengan mengendapkan kekotoran batin. Selama jhana masih ada, selama itu pula
nivarana tidak timbul. Tetapi, bila jhana merosot, maka nivarana akan timbul
lagi.
Jhana merupakan alat pembasmi nivarana, yaitu vitakka membasmi
thina-middha, vicara membasmi vicikiccha, piti membasmi byapada, sukha membasmi
uddhacca-kukkucca, dan ekaggata membasmi kamachanda.
8. TINGKAT-TINGKAT JHANA
Menurut Sutta Pitaka,
terdapat delapan tingkat jhana, yaitu empat rupa jhana dan empat arupa jhana,
sedangkan menurut Abhidhamma, terdapat sembilan tingkat jhana, yaitu lima rupa
jhana dan empat arupa jhana. Dalam Abhidhamma, tingkatan rupa jhana ada lima,
karena hal ini disesuaikan menurut keadaan, menurut bagian, dan jumlah
kesadaran yang berada dalam rupavacara-citta, sebab kesadaran dari
manda-puggala (orang yang tidak cerdas) tidak dapat melihat kekotoran dari
vitakka dan vicara kedua-duanya ini sekaligus dalam waktu yang sama, hanya
dapat membuang ‘keadaan batin’ satu persatu, yaitu dutiya-jhana membuang
vitakka, dan tatiya-jhana membuang vicara. Tetapi, tikkha-puggala (orang yang
cerdas) mampu menyelidiki dan melihat kekotoran dari vitakka dan vicara
sekaligus dalam waktu yang sama, dan membuang vitakka dan vicara sekaligus.
Karena itu, dalam Sutta Pitaka, tingkatan rupa jhana ada empat.
Tingkatan jhana, menurut
Abhidhamma, terdiri atas :
1. Pathama-Jhana, ialah
jhana tingkat pertama.
Keadaan batinnya terdiri dari lima corak, yaitu vitakka, vicara, piti, sukha,
dan ekaggata.
2. Dutiya-Jhana, ialah
jhana tingkat kedua.
Keadaan batinnya terdiri dari empat corak, yaitu vicara, piti, sukha, dan
ekaggata.
3. Tatiya-Jhana, ialah
jhana tingkat ketiga.
Keadaan batinnya terdiri dari tiga corak, yaitu, piti, sukha, dan ekaggata.
4. Catuttha-Jhana, ialah
jhana tingkat keempat.
Keadaan batinnya terdiri dari dua corak, yaitu sukha dan ekaggata.
5. Pancama-Jhana, ialah
jhana tingkat kelima.
Keadaan batinnya terdiri dari dua corak, yaitu upekkha dan ekaggata.
6. Akasanancayatana-Jhana,
ialah keadaan dari konsepsi ruangan yang tanpa batas.
7. Viññanancayatana-Jhana,
ialah keadaan dari konsepsi kesadaran yang tak terbatas.
8. Akincaññayatana-Jhana,
ialah keadaan dari konsepsi kekosongan.
9. Nevasaññanasaññayatana-Jhana,
ialah keadaan dari konsepsi bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan.
Tingkatan jhana, menurut
Sutta Pitaka, terdiri atas :
1. Pathama-Jhana, ialah
jhana tingkat pertama, dimana nivarana telah dapat diatasi dengan seksama.
Faktor-faktor jhana yang timbul adalah vitakka, vicara, piti, sukha, dan
ekaggata.
2. Dutiya-Jhana, ialah
jhana tingkat kedua, dimana vitakka dan vicara mulai lenyap, karena kedua
faktor ini bersifat kasar untuk jhana kedua. Faktor-faktor jhana yang masih ada
adalah piti, sukha, dan ekaggata.
3. Tatiya-Jhana, ialah
jhana tingkat ketiga, dimana piti mulai lenyap, karena piti ini masih terasa
kasar untuk jhana ketiga. Faktor-faktor jhana yang masih ada adalah sukha dan
ekaggata.
4. Catuttha-Jhana, ialah
jhana tingkat keempat, dimana sukha mulai lenyap, karena faktor ini masih
terasa kasar untuk jhana keempat. Di dalam jhana keempat ini hanya ada faktor
ekaggata dan ditambah dengan upekkha (keseimbangan batin).
5. Akasanancayatana-Jhana.
6. Viññanancayatana-Jhana.
7. Akincaññayatana-Jhana.
8. Nevasaññanasaññayatana-Jhana.
Untuk mencapai pathama-jhana, obyek yang
harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah sepuluh asubha dan satu
kayagatasati.
Untuk mencapai dutiya-jhana, tatiya-jhana,
dan catuttha-jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana
ialah tiga appamañña (metta, karuna, dan mudita).
Untuk mencapai pancama-jhana, obyek yang
harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah satu upekkha.
Untuk mencapai empat arupa jhana, obyek
yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah empat arupa.
Penjelasan :
Sepuluh kasina dan satu anapanasati dapat dijasikan obyek meditasi oleh semua
orang untuk mencapai lima rupa jhana.
9. LIMA MACAM VASI
Vasi berarti keahlian
atau kemahiran atau kemampuan untuk mengolah jhana.
Jika seseorang telah
mencapai jhana tingkat pertama (pathama-jhana), kemudian ia ingin mencapai
jhana-jhana tingkat selanjutnya, maka ia harus mempunyai lima macam vasi.
Kelima macam vasi tersebut
ialah :
1. Avajjana-vasi, yaitu
keahlian dalam pemikiran untuk memasuki jhana menurut kehendaknya.
2. Samapajjana-vasi, yaitu
keahlian dalam memasuki jhana.
3. Adhitthana-vasi, yaitu
keahlian dalam menentukan berapa lama hendak berada dalam jhana.
4. Vutthana-vasi, yaitu
keahlian dalam ‘keluar’ dari jhana.
5. Paccavekkhana-vasi,
yaitu keahlian dalam meninjauan terhadap jhana.
10. ENAM MACAM ABHIÑÑA
Abhiñña berarti kemampuan atau kekuatan
batin yang luar biasa, atau tenaga batin.
Abhiñña akan timbul dalam diri orang yang telah mencapai jhana-jhana, dimana
jhana tingkat keempat (catuttha-jhana) merupakan dasar untuk timbulnya abhiñña
ini. Namun, hal ini juga tergantung pada kusala-kamma (perbuatan baik) dari
kehidupan yang lampau. Mengenai obyek meditasi yang dapat menimbulkan abhiñña
ialah hanya sepuluh kasina.
Abhiñña itu ada enam macam dan dapat
dibagi atas dua kelompok besar, yaitu abhiñña yang duniawi atau lokiya dan
abhiñña yang di atas duniawi atau lokuttara.
Abhiñña yang duniawi (lokiya-abhiñña)
terdiri atas lima macam, yaitu :
1. Iddhividhañana, sering
disebut sebagai kekuatan gaib atau kekuatan magis atau kesaktian. Ini terbagi
lagi atas beberapa macam, yaitu :
a. Adhitthana-iddhi, ialah
kemampuan untuk mengubah diri dari satu menjadi banyak atau dari banyak menjadi
satu.
b. Vikubbana-iddhi, ialah
kemampuan untuk berubah bentuk, seperti menjadi anak kecil, raksasa, ular, atau
membuat diri menjadi tak tampak.
c. Manomaya-iddhi, ialah
kemampuan mencipta dengan menggunakan pikiran, seperti menciptakan istana,
taman, harimau, wanita cantik, dan lain-lain.
d. Ñanavipphara-iddhi,
ialah kemampuan untuk menembus ajaran melalui pengetahuan.
e. Samadhivipphara-iddhi,
ialah kemampuan memencarkan melalui konsentrasi, yaitu :
§ Kemampuan menembus
dinding, pagar, gunung.
§ Kemampuan menyelam ke
dalam bumi bagaikan menyelam ke dalam air.
§ Kemampuan berjalan di
atas air bagaikan berjalan di atas tanah yang padat.
§ Kemampuan terbang di
angkasa seperti burung.
§ Kemampuan melawan api.
§ Kemampuan menyentuk
bulan dan matahari dengan tangannya.
§ Kemampuan memanjat
puncak dunia sampai ke alam Brahma.
2. Dibbasotañana (telinga
dewa), ialah kemampuan untuk mendengar suara-suara dari alam lain, yang jauh
maupun yang dekat.
3. Cetopariyañana atau
paracittavijañana, ialah kemampuan untuk membaca pikiran makhluk lain.
4. Dibbacakkhuñana atau
cutupapatañana (mata dewa), ialah kemampuan untuk melihat alam-alam halus dan
muncul lenyapnya makhluk-makhluk yang bertumimbal lahir sesuai dengan karmanya
masing-masing.
5. Pubbenivasanussatiñana,
ialah kemampuan untuk mengingat tumimbal lahir yang lampau dari diri sendiri
dan orang lain.
Abhiñña yang di atas duniawi
(lokuttara-abhiñña) hanya ada satu macam, yaitu asavakkhayañana, ialah
kemampuan untuk memusnahkan kekotoran batin. Pemusnahan kekotoran batin ini
akan membimbing ke arah kesucian tertinggi atau arahat.
Perlu diingat bahwa tujuan umat Buddha
bukanlah untuk mendapatkan kegaiban dan mujijat yang aneh-aneh dan luar biasa.
Sang Buddha tidak membenarkan siswa-siswaNya melakukan sesuatu yang ajaib dan
mujijat, karena perbuatan demikian itu tidak akan mempertinggi martabat mereka
di mata orang lain. Lagipula kegaiban itu bukanlah merupakan hal yang penting
dalam mencari kebebasan (Nibbana).
Materi Terkait :