” Yo paticcasamuppadam
passati, so Dhammam passati. Yo Dhammam passati, so paticcasamuppadam passati.”
(Ia yang melihat
Paticcasamuppada, juga melihat Dhamma. Ia yang melihat Dhamma, juga melihat
Paticcasamuppada)
~ Maha-hatthipadopama Sutta; Majjhima Nikaya 28
~
ARTI DARI GAMBAR
PATICCASAMUPPADA
Hukum ini adalah hukum “PATICCASAMUPPADA”. Sebelum kita memasuki
pembahasan pokok, marilah sebelumnya kita membahas arti dan makna dari gambar
“paticcasamuppada” tersebut diatas.
Pada pusat gambar tersebut, terdapat lingkaran
dengan tiga (3) ekor binatang, yaitu :
Seekor ayam ;
melambangkan keserakahan,
Seekor ular ;
melambangkan kebencian,
Seekor babi ;
melambangkan kegelapan-batin.
Makna dari gambar
tersebut adalah, keserakahan dan kebencian selalu muncul bersama-sama dengan
kegelapan batin. Ketiganya [ keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kegelapan
batin (moha) ] merupakan sebab akar buruk yang menyebabkan tumimbal lahir.
Makna dari Jalan
“Putih” dan Jalan “Hitam”
Di sebelah luar dari
pusat tersebut, terdapat jalan berwarna putih, dan jalan berwarna hitam. Di
jalan berwarna putih, orang-orang berjalan dengan benar di dalam cara-cara
latihan yang bermanfaat ( kusala kamma ), baik Bhikkhu maupun upasaka-upasika.
Sedangkan di jalan berwarna hitam, orang-orang telanjang ( symbol tidak tahu
malu akibat berbuat jahat / ahirika dan tidak takut akan akibat perbuatan jahat
/ anottappa ) jatuh kebawah akibat perbuatan-perbuatan jahatnya ( akusala kamma
).
Dari jalan yang
putih, dapat memasuki dua alam yang menyenangkan, namun dari jalan yang hitam
jatuh ke dalam alam-alam menyedihkan. Selama ketiga-akar [ dosa, lobha, dan
moha] masih ada, maka semua makhluk akan selalu berputar-putar melalui jalan
“putih” dan “hitam”.
Alam-alam
Menyenangkan
Alam-alam yang
menyenangkan ditunjukkan pada gambar di sebelah atas di dalam lingkaran. Alam
atas sebelah kanan melambangkan alam surga. Pada gambaran ini, terdapat
alam-alam para Brahma bercahaya, alam istana para dewa yang cemerlang, alam
istana para dewa yang meredup, di sebelah bawahnya terdapat gambar asura-deva
yang sedang berperang dengan para dewa.
Di sebelah kiri alam
dewa, digambarkan alam manusia. Ada rumah sakit ( palang merah ), ada gereja,
ada Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma kepada lima orang petapa, ada dewa
sedang mendengarkan khotbah ( di sekitar pohon ), ada mesjid, ada tank baja
untuk berperang, dan sebagainya. Dari mulut Sang Buddha keluar Dhamma yang
berupa jalur teratai yang melintasi mata rantai “Jati” dan “Jara-marana”.
Selama masa kehidupan, kita dapat memotong rantai untuk merealisasi Nibbana
melalui Jalan Ariya Beruas Dealapan.
Alam Para Hantu (
Peta )
Alam para hantu
digambarkan di sebelah kanan bawah. Ada hantu bermulut sebesar lubang jarum,
ada hantu yang bergelimpangan di kotoran, ada hantu yang kepanasan ( dalam
gambar matahari sepotong ), ada hantu yang mengerubuti sesajian di meja Puja /
sembahyang, ada hantu yang mengganggu pelimpahan jasa, ada hantu yang semua
makanan yang dimakannya berubah menjadi api, dan berbagai jenis hantu.
Alam Binatang
Alam binatang ada
dibawah alam manusia. Ada sapi sedang meluku sawah, ada ikan ( ada orang yang
memancingnya ), ada burung, ada pemburu sedang membidik burung, ada kambing dan
pintu kandang, ada kapal selam, ada ikan besar memakan ikan kecil, ular dimakan
burung, dan sebagainya. Kehidupan binatang serba tidak tenang.
Alam Neraka
Di dasar lingkaran,
digambarkan alam neraka. Ada makhluk yang menggelepar di sungai darah yang
mendidih, ada yang tubuhnya tak kuasa dicabik-cabik binatang,tak terhindarkan
tertusuk-tusuk batang pohon berduri, ada yang tersirami air panas, dan
sebagainya, yang semuanya mengalami sensasi sangat tidak menyenangkan yang tak
terhindarkan akibat kamma-buruknya.
Makna dari Rantai
yang Mengitari Ke-31 Alam Kehidupan
Mengitari alam-alam
tersebut diatas ( representasi dari ke-31 alam kehidupan ) adalah rantai
sebab-musabab yang saling bergantung ( paticcasamuppada ), dengan simbolisasi
12 mata rantai. Penjelasan dimulai dari mata rantai sebelah kanan mulut raksasa
:
Mata rantai pertama ;
dengan gambar pria buta tua sedang bersandar pada tongkatnya, bingung
menentukan arah. Ada tonggak-tonggak yang menghadang di depannya. Gambar ini
melambangkan Avijja ( kegelapan batin ).
Mata rantai kedua ;
dengan gambar pembuat periuk. Di sebelah belakangnya ada periuk yang sudah
dibuat, ada yang masih utuh, ada yang besar, kecil, gendut, ada yang sudah
pecah, sementara ia masih terus membuat periuk. Gambar tersebut melambangkan
perbuatan-perbuatan lampau yang dilakukan ( sankhara ), yang baik maupun yang
jelek, ada yang sudah berbuah ( pecah ), ada yang belum berbuah ( masih utuh ),
dan tetap orang itu melakukan kamma terus-menerus ( membuat pot / periuk ).
Mata rantai ketiga ;
dengan gambar seekor kera yang sedang meloncat dari dahan pohon yang sudah
kering tanpa daun buah ke pohon yang masih lebat dan banyak buah. Gambar kera
tersebut melambangkan kesadaran (vinnana), yaitu kesadaran melihat, mendengar,
mencium bau, mengecap rasa kecapan, mengalami sentuhan, memikirkan, kesadaran
tumimbal lahir yang merupakan penerusan dari “kehidupan yang lampau” ( pohon
kering ) ke “kehidupan yang baru” ( pohon yang masih hijau dan lebat buahnya ),
sehingga terjadilah “makhluk-baru”.
Mata rantai keempat ;
dengan gambar pemuda dan pemudi (sepasang) sedang duduk di dalam perahu yang
sama mendayung sampan bersama. Gambar tersebut melambangkan batin dan jasmani (
nama-rupa ) yang bersatu dalam berproses (bekerja bersama-sama)
terombang-ambing di tengah-tengah lautan kehidupan.
Mata rantai kelima ;
dengan gambar rumah yang memiliki lima (5) jendela dan satu (1) pintu. Gambar
tersebut melambangkan bahwa di dalam batin dan jasmani (rumah) ini terdapat
lima pintu indera dan satu pintu pikiran ( enam landasan indera / salayatana ).
Mata rantai keenam ;
dengan gambar sepasang muda-mudi sedang duduk di malam hari dengan bulan
sabitnya, tangan pemuda sedang kontak dengan pemudi. Gambar tersebut
melambangkan kontak ( Phassa ) antara enam landasan indera dengan
objek-objeknya yang bersesuaian.
Mata rantai ketujuh ;
dengan gambar orang terjatuh karena kedua matanya terkena panah. Gambar
tersebut melambangkan perasaan ( vedana ). Perasaan akan membutkan seseorang
bila orang tersebut tidak memiliki pengendalian diri dan perhatian murni ( Sati
).
Mata rantai kedelapan
; dengan gambar malam hari dengan bulan sabitnya orang masih makan,
minum-minuman keras. Gambar tersebut melambangkan nafsu ( tanha ) yang membuat
seseorang lupa daratan, mabuk kepayang.
Mata rantai
kesembilan ; dengan gambar orang sedang memetik buah-buahan. Walaupun keranjang
telah terisi penuh buah, namun ia tetap masih memetik sehingga ada banyak buah
tercecer di sekitar keranjang. Gambar tersebut melambangkan kemelekatan (
upadana ).
Mata rantai kesepuluh
; dengan gambar seorang wanita hamil. Gambar tersebut melambangkan suatu proses
menjadi (bhava) yang memiliki kekuatan untuk diteruskan di dalam kelahiran
selanjutnya dan menyebabkan penderitaan menjadi lebih panjang.
Mata rantai kesebelas
; dengan gambar seorang wanita sedang melahirkan. Gambar tersebut melambangkan
proses kelahiran kembali/tumimbal lahir ( Jati ).
Mata rantai
keduabelas ; dengan gambar seorang tua renta sedang berjalan dan seonggok mayat
sedang terbujur kaku. Gambar tersebut melambangkan proses penuaan ( jara ) dan
kematian ( marana ) yang menimpa setiap makhluk yang dilahirkan. Antara
kelahiran dan kematian, selama masih ada avijja dan tanha maka selalu terjadi
proses-proses kamma dan berlanjutlah proses paticcasamuppada ini.
Semua kehidupan kita
merupakan proses dari dua belas mata-rantai tersebut. Rantai melingkar itu
dicengkeram oleh RAKSASA “KALA” / BATHARA “KALA” ( waktu ), melambangkan
ketidak-kekalan ( adanya batasan waktu ). Semua diputar oleh kaki dan tangan
bathara ‘kala’ (waktu) tersebut.
Di atas kepala raksasa
tersebut terdapat mahkota dengan lima buah tengkorak kepala, yang melambangkan
bahwa makhluk-makhluk dalam samsara ini mengagungkan mahkota lima kelompok
perpaduan ( Pancakkhandha ) yang membahayakan, dan membentuk “diri” kita.
Padahal , kelima kelompok perpaduan ( pancakhada ) tersebut pada hakekatnya
adalah tidak-kekal ( anicca ), derita ( dukkhaa ) dan anatta ( tanpa-aku ).
Seluruh alam, rantai
melingkar , dan raksasa itu dikelilingi oleh lidah api, yang panas. Api yang
membakar ini melambangkan panasnya dosa (kebencian/kemarahan), lobha
(keserakahan akan keindriyaan ), dan moha ( kegelapan/kebodohan batin).
Dibawah rantai
tersebut, terdapat ekor raksasa yang panjang sekali, hingga tak terlihat
ujungnya. Hal ini melambangkan kelahiran dan kematian kita yang tak dapat
ditelusuri awal-mulanya. Setiap pertanyaan tentang yang “awal” ( prima-causa )
itu akan mengundang spekulasi menyesatkan dan sangat tidak bermanfaat dalam
upaya menghancurkan penyebab penderitaan.
Di sisi sebelah kiri
atas, ada gambar jalan Dhamma yang telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang
Buddha, dilambangkan dengan gambar teratai delapan (8) buah dimulai dari mulut
beliau menuju As roda dhamma yang berjari-jari delapan (8) buah.
Delapan teratai
dijalani oleh para Bhikkhu dan para upasaka-upasika. Delapan bunga teratai
melambangkan “Jalan Ariya Beruas Delapan” ( Ariya Atthangika Magga ), sedangkan
jari-jari roda melambangkan kondisi dunia ( Lokadhamma 8, yaitu untung-rugi,
dicela-dipuji, terhormat-tidak terhormat, suka-duka ).
Di luar jari-jari
terdapat empat (4) kali tiga (3) buah teratai, yang melambangkan empat
kesunyataan mulia dalam tiga tahap perkembangan batin yang merealisasinya (
tiga tahap dua belas segi pandangan seperti dibahas dalam Dhammacakkappavattana
Sutta ), As roda dhamma sudah tidak berputar (diam), melambangkan Nibbana.
Jalur teratai itu keluar dari mulut Sang Buddha di alam manusia melintasi mata
rantai jati dan jara-marana.
Di sisi kanan atas,
terdapat Buddha sedang menunjukkan Nibbana yang berada di tepi seberang, Beliau
yang telah selamat, terbebas dari sakitnya pengembaraan, dan memperingatkan
kita yang masih jatuh bangun di dasar jurang gelap yang membahayakan dan
menghadapi kita dimanapun.
Melalui gambar
tersebut, bisa kita pahami, bahwa semua makhluk yang belum “terbebas” , akan
berputar-putar dalam arus samsara, selalu bertumimbal-lahir ; bisa di alam
neraka, alam para hantu / setan, alam binatang, alam para jin ; atau jika karma
baiknya mencukupi, bisa terlahir di alam manusia, alam2 surga Kammadhatu, alam
Rupa-Brahma hingga Arupa-Brahma. Hanya jika kita telah “terbebas”, maka kita
tidak akan terlahir lagi di ke-31 alam kehidupan tersebut, yaitu saat
merealisasi “Nibbana”, yang pada gambar tersebut digambarkan dengan “as” roda
dhamma yang sudah tidak berputar (diam),
PEMBAHASAN POKOK :
PATICCASAMUPPADA
Paticcasampuppada,
adalah hukum sebab-musabab yang saling bergantungan. Pemahaman hukum ini
merupakan hal yang sangat mendasar dalam pengajaran Buddha-Dhamma. Hukum ini,
telah ada di alam semesta tanpa kemunculan seorang Buddha sekalipun. Hukum ini
, bukanlah “ciptaan” / “rekayasa” seorang Samma-Sambuddha. Namun, sebagaimana
semua Dhamma, memang hanyalah seorang Samma-Sambuddha yang mampu
menyingkapkannya. Sebelum kemunculan seorang Samma-Sambuddha, hukum
Paticcasamuppada belum pernah terdengar , dalam pengajaran manapun. Dalam Kitab
Ti-pitaka Pali, banyak diterangkan, bagaimana detik-detik proses pencapaian
pencerahan-sempurna Sang Buddha yang dilewati dengan penembusan akan hukum
paticcasamuppada ini.
Pembabaran
paticcasamuppada ini adalah untuk memperlihatkan kebenaran dari keadaan yang
sebenarnya, dimana tidak ada sesuatu itu timbul tanpa sebab. Bila kita
mempelajari Hukum Paticcasamuppada ini dengan sungguh-sungguh, kita akan
terbebas dan pandangan salah dan dapat melihat hidup dan kehidupan ini dengan
sewajarnya.
Paticcasamuppada ini
adalah merupakan obyek dasar dari Vipassana Bhavana termasuk salah satu obyek
dari keenam obyek dasar Vipassana Bhavana, yaitu :
- Khanda 5/Pancakkhanda
- 1. Dhatu 18
- 2. Ayatana 12
- 3. Indriya 22
- 4. Paticcasamuppada
- 5. Ariya Sacca/Cattari Ariya Saccani
Secara singkat, hukum paticcasamuppada dapat dirumuskan sebagai berikut :
“ Imasming Sati Idang Hoti,
Imassuppada Idang Uppajjati,
Imasming Asati Idang Na Hoti,
Imassa Nirodha Idang Nirsujjati “
Artinya =
“ Dengan adanya ini, maka adalah itu,
Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu,
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu,
Dengan padamnya ini, maka padamlah itu.”
Rumusan singkat diatas, mengandung makna yang sangat dalam. Dalam rumusan
diatas, kata “timbul” tidak sama dengan kata “ada”, dan kata “padam” tidak sama
dengan kata “tidak-ada”. Apabila salah satu kalimat diatas tidak-ada, maka
rumusan tersebut tidak mencerminkan kaidah Paticcasamuppada secara tepat.
Di dalam Nidana Vagga, Samyutta Nikaya I : 1 : 1, Sutta Pitaka,
Paticcasamuppada diuraikan di dalam dua model sebagai kemunculan dukkha dan
padamnya dukkha. Berdasarkan prinsip dari saling menjadikan, relatifitas dan
saling bergantungan ini, maka seluruh kelangsungan dan kelanjutan hidup dan
juga berhentinya hidup dapat diterangkan dalam formula dari duabelas nidana (sebabmusabab):
a). Proses Kemunculan yang saling bergantungan ( Anuloma ) :
- Avijja (1) Paccaya Sankharang (2)
Dengan adanya Avijja (ketidaktahuan/kebodohan), maka muncullah Sankhara (bentuk-bentuk perbuatan/kamma). - Sankhara (2) Paccaya Vinnanang (3)
Dengan adanya Sankhara (bentuk-bentuk perbuatan/kamma), maka muncullah Vinnana (kesadaran). - Vinnana (3) Paccaya Nama-Rupang (4)
Dengan adanya Vinnana (kesadaran), maka muncullah Nama-Rupa (batin dan jasmani). - Nama-Rupa (4) Paccaya Salayatanang (5)
Dengan adanya Nama-Rupang (batin dan jasmani), maka muncullah Salayatana (enam indera). - Salayatana (5) Paccaya Phassa (6)
Dengan adanya Salayatana (enam indera), maka muncullah Phassa (kesan-kesan). - Phassa (6) Paccaya Vedana (7)
Dengan adanya Passa (kesan-kesan), maka muncullah Vedana (perasaan) - Vedana (7) Paccaya Tanha (8)
Dengan adanya Vedana (perasaan), maka muncullah Tanha (keinginan/kehausan). - Tanha (8) Paccaya Upadanang (9)
Dengan adanya Tanha (keinginan/kehausan), maka muncullah Upadana (kemelekatan). - Upadana (9) Paccaya Bhavo (10)
Dengan adanya Upadana (kemelekatan), maka muncullah Bhava (proses tumimbal lahir). - Bhava (10) Paccaya Jati (11)
Dengan adanya Bhava (proses tumimbal lahir), maka muncullah Jati (kelahiran kembali). - Jati (11) Paccaya Jaramaranang (12)
Dengan adanya Jati ( kelahiran kembali), maka muncullah
Jaramaranag (kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit, dan sebagainya).
b). Proses kepadaman yang saling bergantungan ( Patiloma ) :
- Dengan padamnya avijja (1),
maka padamlah sankhara(2).
- Dengan padamnya sankhara (2)
maka padamlah vinnana (3).
- Dengan padamnya vinnana (3)
maka padamlah nama-rupa (4).
- Dengan padamnya nama-rupa (4)
maka padamlah salayatana (5).
- Dengan padamnya salayatana (5)
maka padamlah phassa (6).
- Dengan padamnya phassa (6) maka
padamlah vedana (7).
- Dengan padamnya vedana (7) maka
padamlah tanha (8).
- Dengan padamnya tanha (8) maka
padamlah upadana (9).
- Dengan padamnya upadana (9)
maka padamlah bhava (10).
- Dengan padamnya bhava (10) maka
padamlah jati (11).
- Dengan padamnya jati (11) maka
padamlah jara-marana (12).
Saudara-saudari, dan para sahabat yang tercinta, rumusan diatas merupakan
rumusan umum yang sering dibahas. Sebenarnya, di dalam mempelajari
Paticcasamuppada ini, terdapat beberapa sudut pandang pembahasan, yaitu =
1. Dipandang dari 12 faktor / Dvadasangani ( nidana 12 ).
Dvadasangani adalah 12 faktor, yaitu Avijja, Sankhara, Vinnana, Nama-Rupa,
Salayatana, Phassa, Vedana, Tanha, Upadana, Bhava, Jati dan Jara marana.
2. Dipandang dari 3 periode ( tayo-addha 3 )
Tayo-Addha adalah 3 masa, yaitu Avijja dan Sankhara faktor ini termasuk
Atita-Addha (masa yang lampau). Jati dan Jara-marana 2 faktor ini termasuk
Anagata addha (masa yang akan datang). Sedangkan selebihnya dibagian tengah ada
8 faktor (vinnana, nama-rupa, salayatana, phassa, vedana, tanha, upadana dan
bhava) termasuk Paccuppanna-addha (masa yang sekarang)
3. Dipandang dari 3 hubungan ( ti-sandhi )
Tisandhi adalah 3 hubungan, yaitu Sankhara dengan Vinnana menjadi 1
hubungan, Vedana dengan Tanha menjadi 1 hubungan Bhava dengan Jati menjadi 1
hubungan.
4. Dipandang dari 2 akar ( dve-mulani )
Dvemulani adalah 2 akar, yaitu Avijja dan Tanha.
5. Dipandang dari 3 lingkaran ( tini-vattani )
Tini-Vattani adalah 3 lingkaran, yaitu :
- Avijja, Tanha dan Upadana
jumlah 3 faktor ini menjadi Kilesa-Vatta.
- Sankhara dan Bhava (khusus
Kamma-Bhava) jumlah 2 faktor ini menjadi Kamma-Vatta.
- Vinnana, Nama-Rupa, Salayatana,
Phassa, Vedana dan Bhava (khusus Uppati-Bhava), Jati dan Jaramarana jumlah
8 faktor ini menjadi Vipaka- Vatta.
6. Dipandang dari 4 bagian ( cattu-sankhepa )
- Avijja dan Sankhara jumlah 2
faktor ini menjadi 1 bagian.
- Vinna, Nama-Rupa, Salayatana,
Phassa dan Vedana jumlah 5 faktor ini menjadi 1 bagian.
- Tanha, Upadana dan Bhava jumlah
3 faktor ini menjadi 1 bagian.
- Jati dan Jara-marana jumlah 2
faktor ini menjadi 1 bagian.
7. Dipandang dari 4 fase 5 sebab akibat ( visatakara )
a. Keadaan yang menjadi sebab yang lampau (atitahetu) ada 5 faktor, yaitu Avijja,
Sankhara, Tanha, Upadana dan Bhava.
- Keadaan yang menjadi akibat
yang sekarang (paccuppanna-phala) ada 5 faktor yaitu, Vinnana,
Nama-Rupa, Salayatana, Phassa dan Vedana.
c. Keadaan yang menjadi sebab yang sekarang (paccuppanna-hetu) ada 5 faktor,
yaitu Tanha, Upadana, Bhava, Avijja dan Sankhara.
d. Keadaan yang menjadi akibat yang akan datang (anagata-phala) ada 5 faktor,
yaitu Vinnana, Nama Rupa, Salayatana, Phassa dan Vedana.
Pada kesempatan pembahasan kali ini, kami hanya akan membahas sudut pandang
yang pertama, yaitu dari sudut pandang 12 faktor ( nidana 12 ). Namun, jika
kita telah mempelajari dan mengerti sudut pandang ini, kita jangan tergesa-gesa
mengambil kesimpulan, karena kita harus mempelajari ke-6 sudut pandang yang
lainnya sesuai tersebut diatas. Bila kita tergesa-gesa mengambil kesimpulan,
dapat mengakibatkan munculnya pandangan salah, yaitu pandangan salah yang
menyatakan bahwa sebab pertama adalah Avijja ( kebodohan batin ). Pernyataan
ini sebagai akibat pengaruh ajaran lain yang menyatakan bahwa ada suatu ‘ujung’
dari segala sebab, yaitu factor “X”, dan ternyata factor “X” ini di dalam
Buddha-Dhamma adalah “Avijja”. Padahal, tidak demikianlah sesungguhnya, Avijja
bukanlah sebab pertama.
PATICCASAMUPPADA DAN TUMIMBAL-LAHIR
Paticcasamuppada berkaitan erat dengan proses tumimbal-lahir. Ia
menerangkan segala fenomena hidup dan kehidupan, proses “mengada”.
Untuk memudahkan pemahaman, disini kami menggunakan ilustrasi gambar
Paticcasamuppada yang sudah sangat dikenal dikalangan para siswa Sang Buddha.
Bagi yang tidak beragama Buddha, jangan salah pengertian, gambar tersebut
bukanlah alat “tolak-bala”, atau “cap jie shio”, atau untuk ditempelkan di
jidat vampire dalam film klasik Tiongkok .
Nanti , kami akan menjelaskan apa arti dari gambar tersebut. Sekarang, mari
kita membahas satu-demi-satu mata-rantai dalam Paticcasamuppada ini.
Rantai Pertama : Avijja
Ketidaktahuan ( avijja ) tentang kesunyataan adanya penderitaan,
sebab, akhir, dan jalan untuk mengakhiri, merupakan sebab
utama yang menggerakkan roda kehidupan semua makhluk. Avijja, adalah
ketidaktahuan akan “sesuatu” sebagai mana adanya, atau diri sendiri ( “Aku” /
“Atman” ) sebagai mana adanya. Ketidaktahuan ini merupakan “kegelapan-batin”,
bagaikan kabut pekat yang menyelimuti batin semua makhluk, menghalau pemahaman
terhadap semua pengertian benar.
“ Ketidak-tahuan merupakan khayalan yang kuat, tempat kita berkelana begitu
lama disini, di kehidupan ini “ , demikian Sabda Sang Buddha.
Saat kita mencapai Pencerahan-Sempurna, ketidaktahuan akan dihancurkan dan
berubah menjadi pemahaman benar, semua hubungan sebab akibat pun hancur.
Sang Buddha bersabda,” Mereka yang telah menghancurkan khayalan dan
menembus kegelapan yang tebal, tak akan mengembara lagi; sebab akibat tiada
lagi pada mereka “.
Ketidaktahuan terhadap yang lampau, yang akan datang, baik masa lampau
maupun yang akan datang, baik masa lalu maupun yang akan datang serta
Paticcasamuppada juga dipandang sebagai Avijja.
Rantai Kedua : Samkhara
Disebabkan oleh ketidaktahuan timbullah kegiatan yang dipersiapkan (
Samkhara ). Samkhara mempunyai arti beraneka-ragam, harus dimengerti
berdasarkan konteksnya. Samkhara berarti kehendak ( cetana ) tidak
baik ( akusala ), baik ( kusala ) dan tak
tergoyahkan ( anenja ) yang merupakan Kamma penghasil tumimbal
lahir. Yang pertama, akusala, mencakup semua kehendak dari
12 bentuk kesadaran yang tidak baik; yang kedua, kusala ,
mencakup semua kehendak dalam 8 bentuk kesadaran yang indah ( sobhana )
dan 5 macam Rupa-Jhana yang baik; yang ketiga, anenja, mencakup
semua kehendak dalam 4 bentuk kesadaran Arupa-Jhana yang baik.
Semua pikiran,ucapan dan perbuatan, baik atau buruk, termasuk dalam
samkhara.
Perbuatan baik atau buruk, yang langsung atau tak langsung, berakar pada
ketidaktahuan ( avijja ), yang tentunya menghasilkan akibat, cenderung untuk
memperpanjang pengembaraan dalam Samsara.
Walaupun begitu, perbuatan baik yang bebas dari ketamakan, kebencian dan
khayalan, diperlukan untuk membebaskan diri dari penderitaan kehidupan.
Ketidaktahuan menonjol dalam perbuatan tak baik, ia tertutup oleh perbuatan
baik. Oleh karena itu baik perbuatan baik maupun buruk dinilai sebagai akibat
ketidaktahuan. Seorang Yang-Tercerahkan-Sempurna, Yang-Tersadar, tidak lagi
memiliki tunas-tunas perbuatan baik dan perbuatan buruk, oleh karenanya ia
tidak akan terlahir dalam rahim manapun juga, baik alam surga ( alam para dewa
), alam manusia, apalagi alam binatang dan alam setan.
Rantai Ketiga : Patisandhi – Vinnana
Bergantung pada perbuatan yang dipersiapkan pada waktu lampau (
samkhara ) muncul kesadaran penyambung atau tumimbal lahir (
patisandhi vinnana ) dalam kehidupan berikut. Disebut begitu karena ia
menghubungkan masa lampau dan saat ini, serta merupakan kesadaran awal yang
dialami seseorang pada saat pembentukan.
Janin dalam rahim seorang ibu dibentuk oleh perpaduan antara kesadaran
penyambung dengan sperma dan sel telur orang tuanya. Dalam kesadaran itu
terpendam semua kesan dari kehidupan sebelumnya, ciri-ciri dan kecenderungan
dari aliran kehidupan pribadi yang bersangkutan. Kesadaran tumimbal lahir
ini dinilai bersih karena ia bebas dari akar kejahatan; keserakahan, kebencian,
dan khayalan/nafsu, maupun dari akar kebaikan.
Rantai Keempat : Nama dan Rupa
Bersamaan dengan timbulnya kesadaran penyambung muncullah batin dan jasmani (
nama-rupa ), atau beberapa orang terpelajar lebih suka menyebutnya
sebagai,” organisme untuk memenuhi kebutuhan badaniah.”
Unsur ke-2 dan ke-3 ( samkhara dan vinnana ) menyinggung
kehidupan masa lalu dan saat ini. Unsur ke-3 dan ke-4 ( vinnana dan
nama-rupa ) sebaliknya berada dalam satu masa.
Perpaduan nama-rupa harus dimengerti sebagai nama ( batin
) saja, rupa ( jasmani ) saja, maupun nama-rupa (
batin dan jasmani ) secara bersamaan. Dalam kasus Alam tak berbentuk (
Arupa ) hanya muncul batin dalam hal Alam tanpa batin ( Asanna
) hanya jasmani saja, dalam hal keindriaan ( kama ) dan
alam berbentuk terdapat batin dan jasmani.
Nama menunjukkan tiga ( 3 ) kelompok : perasaan ( vedana ), persepsi (
sanna ) dan keadaan mental ( samkhara ), yang muncul
bersamaan dengan kesadaran penyambung.
Rupa menunjukkan tiga ( 3 ) bagian; tubuh ( kaya ), sex (
bhava ), dan tempat kesadaran ( vatthu ), yang juga
muncul bersamaan dengan kesadaran penyambung, dan ditentukan oleh kamma masa
lampau.
Bagian tubuh terdiri dari empat ( 4 ) unsur, yaitu : 1.unsur padat, tanah (
pathavi ), 2.unsur cair, air ( apo ), 3.unsur panas,
api ( tejo ), 4.unsur gerak, udara ( vayo ); dengan
enam ( 6 ) hal yang mengikuti ( upada rupa ), yaitu : 5.warna (
vanna ), 6.bau ( gandha ), 7.rasa ( rasa ), 8.pokok
yang utama ( oja ), 9.tenaga hidup ( jivitindria ), 10.tubuh (
kaya ).
Sex (terdiri atas 10 bagian) dan dasar kehidupan (yang terdiri atas 10
bagian), juga berturut-turut terdiri dari 9 hal pertama serta sex ( bhava ) dan
tempat kesadaran ( vatthu ).
Jadi dari penjelasan itu jelas sex ditentukan oleh kamma masa lampau pada
saat terjadi pembuahan.
Kaya, berarti bagian tubuh yang peka ( pasada ).
Sex tidak berkembang pada saat pembentukan, tetapi pada kemampuan terpendam
ke arah itu. Bukan jantung maupun otak, yang dianggap sebagai tempat kesadaran,
tapi kemampuan tempat itulah yang terpendam, berkembang sejak terjadinya
pembuahan.
Rantai Kelima : Salayatana
Pada masa pembentukan janin, enam ( 6 ) dasar indria ( salayatana ) secara
bertahap berkembang dengan pesat dari perwujudan batin dan jasmani yang latent.
Bintik sangat kecil yang tak berarti, sekarang berkembang menjadi peralatan
enam ( 6 ) indria yang kompleks.
Enam landasan indria ini muncul bersamaan dengan “nama-rupa”. Enam landasan
indria ini merupakan akibat (vipaka) kamma kehidupan yang lampau.
Peralatan manusia sangat sederhana pada awalnya tetapi sangat rumit pada
akhirnya. Sebaliknya, peralatan biasa, sangat rumit pada awalnya tetapi sangat
sederhana pada akhirnya.
Rantai Keenam : Sentuhan ( Phassa )
Sekarang peralatan enam ( 6 ) indria manusia bekerja secara mekanis tanpa
sesuatu yang bertindak sebagai penggerak. Ke-6 indria, mata, telinga, hidung,
lidah, tubuh, dan batin, berturut-turut mempunyai objek dan fungsi sendiri.
Enam ( 6 ) objek indria seperti bentuk, suara, bau, rasa enak, yang dapat
diraba dan objek mental yang bersentuhan dengan alat indria, masing-masing
memberikan 6 macam kesadaran. Perpaduan antara alat indria, objek indria dan
hasil kesadaran yaitu sentuhan ( phassa ) yang murni bersifat
subjektif, tak bersangkut paut dengan orang tertentu.
Sang Buddha mengatakan, “ Karena mata dan bentuk, timbul kesadaran
melihat; sentuhan merupakan perpaduan ketiga hal itu. Karena telinga dan suara,
timbul kesadaran mendengar; karena hidung dan bau, timbul kesadaran penciuman;
karena lidah dan lezat, timbul kesadaran kelezatan; karena tubuh dan objek yang
biasa disentuh, timbul kesadaran sentuhan; karena pikiran dan objek mental,
timbul kesadaran pikiran. Perpaduan ketiga hal itu adalah sentuhan. “
Sehingga, phassa / kesan-kesan kontak tersebut adalah sebagai berikut ;
- kesan/kontak mata
- kesan/kontak telingga
- kesan/kontak hidung
- kesan/kontak lidah
- kesan/kontak jasmani
- kesan/kontak pikiran
Rantai Ketujuh : Perasaan ( Vedana )
Jangan dianggap bahwa hanya dengan bersinggungan timbul sentuhan (
na sangatimatto eva phasso ). Begantung pada sentuhan muncul perasaan (
vedana ). Sesungguhnya, perasaan inilah yang meresapi suatu objek pada
saat terjadi sentuhan dengan indria. Perasaan inilah yang mengenyam hasil suatu
tindakan menyenangkan atau tak menyenangkan dalam kehidupan ini atau yang lalu.
Selain keadaan mental ini tak ada jiwa atau sesuatu yang lain yang merasakan
hasil perbuatan.
Perasaan atau kesan, merupakan keadaan mental yang menyertai semua bentuk
kesadaran. Ada tiga ( 3 ) jenis utama perasaan, yaitu : i.menyenangkan (
somanassa ), ii.tidak menyenangkan ( domanassa ), iii.netral (
adhukkhamasukha ). Ditambah dengan penderitaan jasmani (
dukkha ) dan kebahagiaan jasmani ( sukkha ), semuanya
ada lima ( 5 ) macam perasaan. Perasaan netral disebut juga upekkha yang
berarti acuh tak acuh atau seimbang.
Harus diketahui, kebahagiaan Nirvana/Nibbana tidak
berhubungan dengan perasaan bentuk manapun. Kebahagiaan tertinggi ini merupakan
kebahagiaan karena bebas dari penderitaan, bukannya suatu kenikmatan objek
menyenangkan yang manapun.
Rantai Kedelapan : Nafsu Keinginan ( tanha )
Bergantung pada perasaan timbul nafsu keinginan ( tanha ), seperti
halnya ketidaktahuan, merupakan faktor penting dalam “ Paticcasamuppada “.
Cinta, kehausan, kemelekatan merupakan terjemahan dari kata Pali –
“tanha” – ini.
Nafsu keinginan dibedakan menjadi tiga ( 3 ), yaitu :
- Kama-tanha, ialah kehausan
terhadap kesenangan-kesenangan indera yaitu kehausan pada :
- bentuk yang indah
- suara yang merdu
- bau yang wangi semerbak
- rasa yang enak dan nikmat
- sentuhan yang empuk dan halus
- bentuk-bentuk bathin yang
menyenangkan
- Bhava-tanha, ialah kehausan
untuk menjelma berdasarkan kepercayaan tentang adanya “aku” yang kekal
dan terpisah (attavada).
- Vibhava-tanha, ialah kehausan
untuk memusnahkan diri berdasarkan kepercayaan yang salah, yang
menganggap bahwa setelah mati tamatlah atau habislah riwayat tiap
manusia/makhluk (ucchedavada). Ini adalah sudut pandang kaum materialis.
Bhavatanha dan vibhavatanha juga diterjemahkan sebagai kemelekatan pada
Alam yang Berbentuk ( rupabhava ) dan Alam yang Tak Berbentuk (
Arupabhava ). Biasanya istilah ini juga diterjemahkan sebagai napsu
keinginan untuk keberadaan dan tidak keberadaan.
Ada enam ( 6 ) macam napsu keinginan yang berhubungan dengan enam ( 6 )
objek indria seperti bentuk, suara dan sebagainya. Mereka menjadi 12 jika
diperlukan sebagai bagian dalam dan luar. Mereka dihitung menjadi 36 jika
ditinjau dari sudut masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Jika dikalikan
dengan 3 macam napsu yang mendahului, mereka berjumlah 108.
Sangat wajar bagi makhluk duniawi untuk mengembangkan napsu keinginan akan
kesenangan indria. Mengatasi keinginan indria sangatlah sulit. Unsur terkuat
roda kehidupan ( paticcasamuppada ) adalah ketidaktahuan dan napsu keinginan,
dua sebab utama paticcasamuppada. Ketidaktahuan ditunjukkan sebagai sebab masa
lalu yang membentuk saat ini, dan napsu keinginan, sebab saat ini yang
membentuk masa yang akan datang.
Rantai Kesembilan : Upadana
Bergantung pada napsu keinginan muncul kemelekatan ( upadana ) yaitu
napsu keinginan yang terus menerus. Tanha bagaikan dalam gelap mencari benda
untuk dicuri. Upadana berhubungan dengan pencurian barang itu. Kemeleketan
ditimbulkan oleh napsu keinginan dan kesalahan. Ia menimbulkan gagasan yang
salah tentang “ aku “ dan “ milikku “.
Ada empat ( 4 ) macam kemelekatan, yaitu :
- Kamupadana, ialah kemelekatan
pada bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan dan kesan pikiran. Atau
kemelekatan pada kesenangan indera.
- Ditthupadana, ialah kemelekatan
pada pandangan yang salah, yaitu : yang benar dikatakan salah, yang baik
dikatakan buruk, yang berguna dikatakan tidak berguna dan lain-Iainnya.
- Silabbatupadana, ialah
kemelekatan pada upacara agama, yang menganggap bahwa upacara agama dapat
menghasilkan kesucian.
- Attavadupadana, ialah
kemelekatan pada kepercayaan tentang adanya “aku” atau “atta” yang kekal
dan terpisah.
Rantai Kesepuluh : bhava
Bergantung pada kemelekatan timbul bhava, yang secara harafiah
berarti “menjadi” ( Inggris : being ).
Bhava, ini merupakan perbuatan baik ataupun buruk yang membentuk Kamma (
kammabhava ) – proses aktif untuk menjadi – dan berbagai alam
kehidupan ( upattibhava ) – proses menjadi yang pasif.
Kammabhava, ialah proses kamma yaitu munculnya bentuk -bentuk karma yang menyebabkan
tumimbal lahir.
Upattibhava, ialah proses tumimbal-Iahir, yaitu buah-buah kamma yang lalu (vipaka-kamma).
Perbedaan kecil antara samkhara dan kammabhava yaitu yang pertama
menunjukkan masa lalu sedangkan yang kedua menunjukkan kehidupan saat ini.
Keduanya menunjukkan kekuatan Kamma, hanya saja kammabhava yang membentuk
kelahiran yang akan datang.
Rantai Kesebelas : Jati
Bergantung pada proses menjadi muncul kelahiran ( jati ) dalam
kehidupan berikutnya.
Yang dimaksudkan dengan kelahiran adalah munculnya perwujudan batin dan
jasmani ( khandhanam patubhavo ).
Rantai Keduabelas : Jaramarana
Usia tua dan kematian ( jaramarana ) merupakan hasil
kelahiran yang tidak dapat dielakkan. Jara-marana, ialah ketuaan
dan kematian, yang merupakan rangkaian penderitaan, seperti kesakitan, susah
hati, kesedihan, ratap tangis, putus asa, kecewa, kematian dan lain-Iainnya.
MEMBALIK URUTAN PATICCASAMUPPADA
Urutan Paticcasamuppada secara terbalik akan memperjelas
permasalahan proses tumimbal-lahir ini. Berikut ini adalah jika urutan tersebut
dibalik :
“ Usia tua dan kematian hanya dimungkinkan terjadi pada organisme
batin-jasmani, yaitu suatu “mesin” dengan 6 indria. Organisme semacam itu harus
dilahirkan, oleh karena itu perlu adanya kelahiran.
Kelahiran merupakan akibat yang tak dapat dielakkan dari Kamma atau
perbuatan masa lalu, yang dibentuk oleh kemelekatan karena adanya napsu keinginan.
Napsu keinginan muncul jika ada perasaan. Perasaan merupakan hasil sentuhan
indria dengan objeknya.
Oleh karena itu ia menduga adanya alat indria yang tak mungkin ada jika
tidak terdapat batin dan jasmani. Batin berakar dari kesadaran tumimbal lahir,
yang dibentuk oleh perbuatan-perbuatan, karena tidak mengetahui segala sesuatu
sebagaimana adanya. “
Jadi, rumusan selengkapnya adalah sebagai berikut :
1. Bergantung pada ketidaktahuan ( avijja ) muncul
kegiatan yang terbatas ( samkhara ) .
2. Bergantung pada kegiatan yang terbatas ( samkhara ) muncul
kesadaran penyambung ( pattisandi-vinnana ) .
3. Bergantung pada kesadaran penyambung ( pattisandi-vinnana ) muncul
batin dan jasmani ( nama dan rupa ).
4. Bergantung pada batin dan jasmani ( nama dan rupa ) muncul
6 landasan indria ( salayatana ).
5. Bergantung pada 6 landasan indria ( salayatana ) muncul
sentuhan ( Phassa ).
6. Bergantung pada sentuhan ( Phassa ) muncul perasaan (
Vedana ).
7. Bergantung pada perasaan ( vedana ) muncul napsu
keinginan ( tanha ).
8. Bergantung pada napsu keinginan ( tanha ) muncul
kemelekatan ( Upadana ).
9. Bergantung pada kemelekatan ( Upadana ) muncul
perbuatan ( kammabhava ).
10. Bergantung pada perbuatan ( Kammabhava ) muncul
kelahiran ( Jati ).
11. Bergantung pada kelahiran ( Jati ) muncullah
12. usia tua, kematian, penderitaan, penyesalan, kegetiran, kesedihan, dan
kekecewaan ( Jaramarana ).
Demikianlah paticcasamuppada menerangkan timbulnya keseluruhan kelompok
penderitaan ( dukkha ).
Semoga bermanfaat bagi kita semua.
( Sumber Pustaka : “Sang Buddha dan Ajaran-ajaran-Nya”, Bhante Narada
Mahathera ; Majalah Dhammacakka, no.43/XII/Agustus-Oktober 2006 ).
Salam Damai dan Cinta Kasih…,
“ Sabbe Satta Sukhita Hontu, Nidukkha Hontu, Avera Hontu, Abyapajja hontu,
Anigha Hontu, Sukhi attanam Pariharantu “
( “Semoga semua makhluk berbahagia, bebas dari penderitaan, bebas dari
kebencian/permusuhan/pertentangan/niat jahat, bebas dari kesakitan, bebas dari
kesukaran, semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaan mereka masing-masing”
)
0 komentar:
Posting Komentar