Perjalanan
Terakhir
Menjelang
tengah hari, setelah mempersiapkan diri, membawa mangkuk dan jubah-Nya, Sang
Bhagava berjalan menuju Vesali untuk mengumpulkan dana makanan. Saat itu adalah
tahun 544 S.M, tiga bulan sebelum memasuki bulan Vesak tahun 543 S.M, beberapa
bulan setelah Sariputta dan Moggallana, kedua Siswa Utama Sang Bhagava mencapai
Nibbana Akhir (Parinibbana) di hari bulan purnama bulan Kattika.
Setelah
makanan terkumpul dan disantap, dalam perjalanan pulang Sang Bhagava meminta
Bhikkhu Ananda untuk mengambil sehelai tikar dan mengajaknya ke cetiya Capala.
Setelah tiba di cetiya Capala, Sang Bhagava memberikan sebuah peringatan kepada
Bhikkhu Ananda mengenai batas waktu kehidupan-Nya. Namun, saat itu Ananda tidak
menyadari hal itu meskipun Sang Bhagava mengulanginya untuk ketiga kalinya.
Setelah
mengulangi peringatan tersebut sebanyak tiga kali dan Bhikkhu Ananda tidak
menanggapinya, Sang Bhagava mempersilahkan Bhikkhu Ananda untuk melakukan hal
lain yang sepatutnya ia perbuat. Bhikkhu Ananda lalu bangkit dari tempat
duduknya, memberi hormat kepada Sang Bhagava, dan mengundurkan diri dengan Sang
Bhagava tetap di sebelah kanannya. Kemudian Bhikkhu Ananda duduk di bawah
sebatang pohon pada jarak yang tidak jauh dari tempat tersebut.
Pada
saat kesendirian-Nya itu, Sang Bhagava menetapkan bahwa Ia akan Parinibbana
(kemangkatan mutlak) tiga bulan dari saat itu.
Kemudian,
Sang Bhagava bersama dengan Bhikkhu Ananda menuju Balairung Puncak di Mahavana
dan memintanya untuk memanggil semua bhikkhu yang berada di sekitar Vesali
untuk berkumpul di aula pertemuan.
Setelah
membabarkan mengenai Ketiga Puluh Tujuh Syarat Pencerahan (Bodhipakkhiyadhamma)
kepada Sangha Bhikkhu, Sang Bhagava memberitahukan saat Parinibbana-Nya:
“Dengarkanlah, para Bhikkhu, sekarang Saya nyatakan kepada kalian: semua hal
yang terkondisi pasti akan hancur. Berjuanglah dengan penuh kesadaran! Wafatnya
Tathagata tak lama lagi akan terjadi. Tiga bulan sejak saat ini, Tathagata akan
mencapai Parinibbana.”
Inilah
yang dikatakan Sang Bhagava. Setelah mengatakan hal ini, Sang Bhagava
melantunkan syair berikut:
“Telah
lanjut usia-Ku, hidup-Ku hanya tersisa sedikit. Aku akan berangkat meninggalkan
kalian. Aku telah menjadikan diri-Ku sebagai pernaungan-Ku sendiri. Berusahalah
dengan tekun dan dengan perhatian murni! Bersikap baik, O para Bhikkhu! Dengan
pikiran yang terpusat penuh, jagalah batin kalian! Barang siapa berusaha dengan
tekun dalam ajaran ini, akan meninggalkan lingkaran tumimbal lahir dan mencapai
akhir segala derita.”
Di
hari berikutnya, saat fajar, Sang Bhagava menata jubah-Nya; sambil membawa
mangkuk dana dan jubah luar-Nya, Ia menuju Vesali untuk menerima dana makanan.
Setelah menerima dana makanan dan bersantap, saat meninggalkan tempat itu Ia
membalikkan badan dan menatap Vesali dengan tatapan sesosok gajah pengading
suci. Lalu ia berkata kepada Bhikkhu Ananda, “Ananda, inilah terakhir kalinya
Tathagata menatap Vesali. Mari, Ananda, mari kita pergi ke Bhandagama!”
Dengan
diiringin sejumlah besar bhikkhu, Sang Bhagava menempuh perjalanan ke
Bhandagama. Setelah tinggal di Bhandagama selama yang dikehendaki-Nya, Sang
Bhagava menempuh perjalanan secara bertahap dengan sejumlah besar bhikkhu ke
Hatthigama, Ambagama, Jambugama, dan kemudian ke Bhoganagara. Selagi di
Bhoganagara, Sang Bhagava mengajarkan pada sekumpulan banyak bhikkhu mengenai
Empat Narasumber Utama (Mahapadesa).
MAKANAN
TERAKHIR SANG BHAGAVA
Kemudian,
setelah Sang Bhagava tinggal di Bhoganagara, Ia melanjutkan perjalanan ke Pava
dengan sekumpulan besar bhikkhu dan tinggal di hutam mangga milik Cunda, putra
si pandai besi (kammaraputta).
Mendengar
berita kedatangan Sang Bhagava di hutan mangganya, Cunda segera menghadap Sang
Bhagava dan memberi sembah hormat pada-Nya. Sang Bhagava memberinya dorongan
dengan pembabaran Dhamma serta membahagiakannya dalam latihan Dhamma. Setelah
mendengarkan Dhamma, Cunda mengundang Sang Bhagava beserta Sangha bhikkhu untuk
menerima persembahan dana makanan keesokan harinya. Sang Bhagava menyetujuinya
dengan berdiam diri.
Keesokan
harinya, Cunda mempersiapkan makanan yang mewah, termasuk masakan khusus yang
disebut sukaramaddava (menurut Digha Nikaya Atthakatha, sukaramaddava atau
daging babi lunak adalah daging seekor babi yang tidak terlalu muda atau
terlalu tua, namun yang tidak dibunuh khusus untuk-Nya [pavattamamsa]; sebagian
ahli menafsirkannya sebagai beras lunak yang ditanak dengan lima macam makanan
olahan dari sapi; sementara sebagian ahli lainnya mengatakan bahwa makanan
tersebut adalah makanan khusus yang dipersiapkan dengan ramuan tertentu yang
lezat dan sangat bergizi yang disebut rasayana).
Ketika
makanan dipersembahkan, Sang Bhagava meminta Cunda untuk menghidangkan
sukaramaddava kepada diri-Nya semata, dan menghidangkan makanan lainnya bagi
Sangha bhikkhu. Seusai makan, Sang Bhagava meminta Cunda untuk memendam sisa
sukaramaddava itu di dalam lubang karena Ia tidak melihat siapa pun yang mampu
mencernanya dengan baik. Namun, setelah makan, sejenis disentri akut menyerang
Sang Bhagava, dan menyebabkan kucuran darah yang disertai rasa sakit yang amat
menusuk. Sang Bhagava menahan rasa sakit ini tanpa mengeluh dan tetap
berperhatian murni dengan pemahaman jernih. Dengan menahan sakit, Sang Bhagava
berkata, “Mari, kita pergi ke Kusinara.”
PERJALANAN
MENUJU KUSINARA
Dalam
perjalanan ke Kusinara, Sang Bhagava merasa letih dan haus. Ia duduk di bawah
sebatang pohon dan meminta Bhikkhu Ananda untuk mengambilkan air di aliran air
di sekitar tempat itu. Namun beberapa kereta baru saja lewat sehingga aliran
air tersebut menjadi keruh. Bhikkhu Ananda menyarankan Sang Bhagava, “Bhante,
Sungai Kakuttha berada tidak jauh dari sini; air dingin di sungai itu jernih,
menyegarkan, tidak kotor; tepian sungai itu bersih dan menyenangkan. Sang
Bhagava bisa minum dan menyejukkan tungkai di sana.”
Untuk
kedua kalinya, Sang Bhagava meminta dan menerima jawaban yang sama. Setelah
yang ketiga kalinya, Bhikkhu Ananda menurut dan berkata, “Baiklah, Bhante.” Dan
ketika Bhikkhu Ananda tiba di aliran air itu, berkat kekuatan Sang bhagava, ia
mendapatkan aliran air yang dangkal itu menjadi jernih, murni, dan tidak kotor.
Lalu ia mengambil air dan memasukkannya ke dalam mangkuk dananya. Kemudian ia
kembali menghadap Sang Bhagava dan memberitahukan-Nya apa yang telah terjadi,
seraya menambahkan: “Semoga Sang Bhagava bersedia minum air ini! Semoga Yang
Mahasuci bersedia minum air ini!” Lalu, Sang Bhagava pun minum.
Setelah
Sang Bhagava minum dan ketika masih duduk di kaki pohon itu, seorang pangeran
Malla yang bernama Pukkusa – seorang siswa Alara Kalama yang sedang menempuh
perjalanan dari Kusinara menuju Pava, melihat Sang Bhagava dan menghadap-Nya.
Ia menceritakan pengalaman gurunya dalam meditasi. Kemudian Sang Bhagava
menceritakan pengalaman-Nya kepada Pukkusa. Pukkusa sungguh terkesan dengan
ketenangan Sang Bhagava, lalu ia mengambil pernaungan dalam Tiga permata sampai
akhir hayatnya. Setelah itu, ia mempersembahkan sepasang jubah berwarna
keemasan kepada Sang Bhagava. Akan tetapi, Sang Bhagava meminta Pukkusa untuk
mempersembahkan sehelai jubah kepada-Nya dan sehelai lainnya kepada Bhikkhu
Ananda.
Segera
setelah Pukkusa pergi, Bhikkhu Ananda memakaikan pasangan jubah keemasan itu di
tubuh Sang Bhagava. Ia terkejut karena warna cemerlang dari jubah keemasan itu
pudar ketika dipakaikan pada tubuh Sang Bhagava. Melihat hal ini, Bhikkhu
Ananda berseru terhadap apa yang dilihatnya. Untuk itu, Sang Bhagava
menjelaskan bahwa ada dua peristiwa yang bisa menyebabkan warna alami dari
kulit Tathagata menajdi sangat bersih dan bersinar, yaitu pada malam hari saat
Ia mencapai Nibbana, dan pada malam Ia mencapai Parinibbana.
Sang
Hagava lalu menyatakan bahwa pada waktu jaga malam terakhir hari itu jyga di
antara kedua pohon sala kembar di hutan sala milik kaum Malla, di dekat
Kusinara, Tathagata akan mencapai Parinibbana.
Kemudian,
Sang Bhagava melanjutkan perjalanan ke Sungai Kakuttha, dan di sana Ia mandi
untuk yang terakhir kalinya, dan meminum air sungai tersebut. Setelah itu, Ia
menuju ke sebuah hutan mangga dan beristirahat sejenak di sana, dengan
berbaring di sisi kanan-Nya laksana singa yang tengah tidur. Ia berbaring pada
jubah luar yang telah disiapkan oleh Bhikkhu Cundaka.
Ketika
beristirahat di sana, Sang Bhagava berkata kepada Bhikkhu Ananda agar menghalau
rasa sesal yang muncul dalam diri Cunda, putra si pandai besi ketika ada orang
yang menganggap bahwa ia adalah orang yang tidak beruntung karena Tathagata
wafat setelah menyantap makanan terakhir-Nya yang ia siapkan. Rasa sesal Cunda
perlu dihilangkan dengan mengatakan bahwa ia adalah seseorang yang mujur besar
karena Tathagata wafat setelah menyantap makanan terakhir-Nya yang ia siapkan.
Sang Bhagava juga menyatakan bahwa ada dua pemberian dana yang luar biasa,
yaitu dana yang dimakan Tathagata tepat sebelum Ia mencapai Nibbana dan dana
yang dimakan Tathagata tepat sebelum Ia mencapai Nibbana Akhir tanpa sisa
(Parinibbana).
DI
BAWAH POHON SALA KEMBAR
Setelah
istirahat singat itu, Sang Bhagava melanjutkan perjalanan akhir-Nya dengan
serombongan besar bhikkhu, Mereka menyeberangi Sungai Hirannavati dan menuju ke
hutan sala milik kaum Malla di dekat Kushinara, tempat peristirahatan-Nya yang
terakhir.
Saat
tiba di sana, Sang Bhagava meminta Bhikkhu Ananda untuk meyiapkan dipan di
antara dua pohon sala kembar itu, dengan bagian kepala dipan menghadap ke
utara. Setelah siap, Sang Bhagava berbaring di sisi kanan-Nya dalam postur
singa, dengan tungkai kaki yang satu tertumpu pada yang lainnya, berperhatian
murni dan sangat sadar. Saat itu, banyak sekali bunga bermekaran di pohon sala
kembar tersebut, meskipun saat itu belum musim bunga.
Pada
kesempatan itu, Sang Bhagava memberikan petunjuk mengenai empat tempat yang
layak diziarahi oleh umat yang penuh keyakinan dan yang akan menginspirasikan
kebangkitan spiritual dalam diri mereka. Tempat-tempat itu meliputi:
1.
Lumbini, tempat kelahiran Tathagata.
2.
Buddha Gaya, tempat Tathagata mencapai Pencerahan Sempurna.
3.
Taman Rusa di Isipatana dekat Baranasi (Benares), tempat Tathagata memutar roda
Dhamma pertama kali.
4.
Kushinara, tempat Tathagata mencapai Parinibbana, Pembebasan Akhir, terhentinya
kelima gugus secara penuh.
Lalu
Bhikkhu Ananda menanyakan berbagai hal di antaranya bagaimana sebaiknya para
bhikkhu memperlakukan sisa-sisa tubuh Tathagata. Sang Bhagava menjawab,
“Ananda, janganlah merepotkan diri dengan menghormati sisa-sisa tubuh
Tathagata. Engkau harus berusaha untuk mencapai tujuan tinggi. Curahkanlah
usahamu untuk mencapai Nibbana! Berlatihlah dengan gigih, tekun, dan tanpa
lalai demi kebaikanmu sendiri. Ada kaum kesatria, kaum brahmana, dan perubah
tangga yang bijaksana, yang memiliki keyakinan teguh terhadap Tathagata; mereka
akan menghormati sisa-sisa tubuh Tathagata.”
Setelah
tanya jawab tersebut, Bhikkhu Ananda merasa sedih bahwa hari itu juga Tathagata
akan mencapai Parinibbana. Ia lalu masuk ke sebuah gubuk tempat tinggal,
bersandar pada tiang pintu, dan berdiri sambil meratap. Menyadari bahwa Bhikkhu
Ananda tidak berada di sisi-Nya, Sang Bhagava meminta seorang bhikkhu untuk
memanggilnya menghadap, lalu Sang Bhagava menghibur Bhikkhu Ananda.
Sang
Bhagava memuji Bhikkhu Ananda sebagai seseorang yang bijaksana dan piawai dalam
mengatur waktu yang tepat bagi para bhikkhu, bhikkhuni, upasaka, dan upasika
untuk datang menjumpai Sang Bhagava. Sang Bhagava juga mengagumi Bhikkhu Ananda
karena memiliki empat sifat yang sangat baik dan mengagumkan.
Setelah
itu Sang Bhagava membabarkan Mahasudassana Sutta dan kemudian Ia meminta
Bhikkhu Ananda untuk pergi ke Kusinara untuk mengumumkan kepada kaum Malla dari
Kusinara bahwa Tathagata akan mencapai Nibbana Akhir pada waktu jaga malam yang
ketiga. Mendengar pesan yang disampaikan oleh Bhikkhu Ananda, para pangeran
Malla, dengan para putra, putri, menantu perempuan, serta para istri mereka
merasa sangat sedih dan sangat terpukul oleh derita dan duka. Mereka menuju ke
hutan sala itu untuk memberikan penghormatan yang terakhir pada Sang Bhagava.
Bersambung ke bagian 9...
Penabisan terakhir...
============================================
============================================