Baca bagian 5
![]() |
Bertemu Tapussa dan Balika |
PEMUTARAN
RODA DHAMMA
Setelah
mencapai Pencerahan Sempurna, muncul dalam pikiran-Nya mengenai betapa
dalamnya, sungguh halus Dhamma yang telah ditemukan-Nya. Ia mempertanyakan
apakah manusia dapat memahaminya. Namun setelah dengan welas asih-Nya Ia
melihat bahwa ada manusia yang dapat memahami Dhamma yang ditemukan-Nya, maka
Sang Bhagava memiliki niat kuat untuk menyebarkan Dhamma. Kemudian Ia berkata:
“Pintu menuju tiada kematian, Nibbana, sekarang telah tebuka. Akan Kubabarkan
Dhamma kepada semua makhluk agar mereka yang memiliki keyakinan dan pendengaran
yang baik bisa sama-sama memetik manfaatnya.”
Setelah
memantapkan niat untuk mengajarkan Dhamma, Sang Bhagava lalu menimbang-nimbang
kepada siapakah Ia perlu mengajarkan Dhamma untuk pertama kalinya, siapakah
yang akan segera memahami Dhamma yang Ia temukan. Lalu Ia berpikir bahwa Alara
Kalama, salah satu guru-Nya adalah orang yang bijaksana, terpelajar, dan
berpikiran tajam, serta sedikit debu saja di matanya. Jika Ia mengajarkan Dhamma
pertama kalinya kepadanya, Alara Kalama akan segera memahaminya. Namun kemudian
Sang Bhagava mengurungkan niat-Nya setelah menyadari bahwa Alara Kalama telah
meninggal tujuh hari yang lalu.
![]() |
Bertemu Upakatakka |
Kemudian,
Sang Bhagava berpikir tentang guru-Nya yang lain, Uddaka Ramaputta, namun
lagi-lagi Sang Bhagava mengurungkan niat-Nya setelah menyadari bahwa Uddaka
Ramaputta telah meninggal kemarin malam.
Akhirnya
Sang Bhagava memikirkan kelima petapa (pancavaggiya) yang melayani-Nya semasa
Ia melakukan tapa berat di Hutan Uruvela. Dengan Mata Buddha-Nya yang murni
melampaui kemampuan pandang manusia, Ia mengetahui bahwa mereka tengah berdiam
di Taman Rusa di Isipatana, di Petirahan Para Waskita, dekat Baranasi.
Demikianlah, setelah tinggal di Uruvela selama yang dikehendaki-Nya, Ia
berjalan menuju Baranasi, yang berjarak delapan belas yojana.
LIMA
SISWA PERTAMA
Pada
senja yang sejuk, hari bulan purnama Asalha, 588 S.M, Sang Bhagava tiba di
Migadaya, Taman Rusa di Isipatana. Kemudian, ketika kelima petapa melihat Sang
Bhagava semakin dekat, mereka mulai memperhatikan bahwa Ia tidak tampak seperti
Petapa Gotama yang dulu mereka layani di Hutan Uruvela selama enam tahun.
Mereka melihat bahwa tubuh-Nya bercahaya cemerlang tiada banding, dan mereka
juga mendapatkan kesan tenteram dan damai dari diri-Nya. Tak seorang pun di
antara mereka yang sadar apa yang tengah terjadi karena mereka akhirnya tak
kuasa menaati kesepakatan awal mereka yang menolak menghormati-Nya. Dengan
segera mereka berdiri. Salah satu mendekati-Nya dan membawakan mangkuk serta
jubah luar-Nya; yang lain menyiapkan tempat duduk; yang lainnya membawakan air,
tatakan kaki, dan handuk untuk mencuci kaki-Nya. Dan setelah Sang Bhagava
duduk, mereka memberikan hormat dan menyapa-Nya.
Setelah
itu, Sang Bhagava menyatakan bahwa diri-nya telah berhasil mengatasi kelahiran
dan kematian dalam hidup ini dan akan mengajarkan Dhamma yang Ia temukan kepada
mereka. Dan setelah kelima petapa itu dapat diyakinkan oleh Sang Bhagava,
kelima petapa itu duduk diam, dan siap menerima petunjuk-Nya.
Sang
Bhagava membabarkan kotbah pertama-Nya, Dhammacakkappavattana Sutta (Kotbah
Mengenai Pemutaran Roda Dhamma). Dalam khotbah ini, Sang Bhagava membabarkan
kepada kelima petapa tersebut bahwa terdapat dua ekstrem – yaitu pemanjaan diri
dan penyiksaan diri – yang harus dihindari oleh orang yang telah meninggalkan
keduniawian. Ia membabarkan Empat Kebenaran Mulia. Ia juga menunjukkan latihan
Jalan Tengah, yang terdiri dan delapan faktor, yaitu Jalan Mulia Berfaktor
Delapan.
Kelima
petapa mendengarkan dengan saksama dan membuka hati mereka terhadap ajaran-Nya.
Dan ketika khotbah itu tengah dibabarkan, pandangan tanpa noda dan murni
terhadap Dhamma muncul dalam diri Kondañña. Ia memahami: “Apa pun yang muncul,
pasti akan berlalu (yam kiñci samudayadhammam sabbam tam nirodhadhammam)”.
Demikianlah, ia menembus Empat Kebenaran Mulia dan mencapai tataran kesucian
pertama (Sotapatti) pada akhir pembabaran itu. Karena itu, ia juga dikenal
sebagai Aññata Kondañña - Kondañña yang mengetahui. Lalu ia memohon penahbisan
lanjut (upasampada) kepada Sang Bhagava. Untuk itu, Sang Bhagava menahbiskannya
dengan berkata: “Mari, Bhikkhu! Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna.
Jalanilah hidup suci demi berakhirnya penderitaan secara penuh”. Dengan demikian,
ia menjadi bhikkhu pertama dalam Buddha Sasana melalui penahbisan Ehi Bhikkhu
Upasampadã, “Penahbisan Mari Bhikkhu”.
Setelah
itu, tatkala ketiga petapa lainnya pergi menerima dana makanan, Sang Bhagava
mengajarkan dan memberikan bimbingan Dhamma kepada Vappa dan Bhaddiya. Mereka
akhirnya menjadi murni dan mencapai tataran kesucian Sotapatti. Dengan segera
mereka memohon untuk ditahbiskan sebagai bhikkhu di bawah bimbingan¬Nya.
Keesokan harinya, Mahanama dan Assaji juga menembus Dhamma dan menjadi Sotapanna.
Tanpa jeda lagi mereka juga memohon penahbisan lanjut dari Sang Bhagava dan
menjadi bhikkhu. Dengan demikian, kelima petapa itu menjadi lima siswa bhikkhu
yang pertama, yang juga dikenal sebagai “Bhikkhu Pancavaggiya” Sejak saat itu,
Persamuhan Bhikkhu (Sangha Bhikkhu) terbentuk.
Setelah
kelima bhikkhu itu menjadi Sotapanna, pada hari kelima Sang Bhagava membabarkan
Anattalakkhana Sutta (Khotbah Mengenai Tiadanya Inti Diri), yang dibabarkan
sebagai tanya-jawab antara Sang Bhagava dan kelima siswa suci-Nya. Pada
intinya, Ia menyatakan bahwa bentuk (rüpa), perasaan (vedanna), pencerapan
(sañña), bentukan batin (sañkhara), dan kesadaran (viññana) adalah selalu
berubah; dan apa yang selalu berubah tidaklah memuaskan (dukkha). Kemudian,
kesemuanya ini yang selalu berubah dan tidak memuaskan, harus dilihat
sebagaimana adanya dengan pengertian benar: “Ini bukan milikku (n’etam mama);
ini bukan aku (n’eso’hamasmi); ini bukan diriku (na m’eso atta)”.
Mendengar
kata-kata-Nya, kelima bhikkhu tersebut menjadi gembira dan bahagia. Dan setelah
Sang Bhagava membabarkan khotbah mi, pikiran mereka terbebas dan kotoran batin,
tanpa kemelekatan; mereka mencapai tataran Arahat.
PARA
MISIONARI BUDDHIS PERTAMA
Setelah
Sang Bhagava memberikan Pencerahan kepada kelima Petapa, Beliau bersama kelima
siswa pertama-Nya itu berdiam di Taman Rusa di Isipatana untuk melewati musim
hujan. Dan ketika Sang Bhagava sedang berjalan-jalan ditempat terbuka, Ia
bertemu putra seorang saudagar kaya, bernama Yasa yang mengalami kegundahan batin
terhadap kehidupannya dan pergi dari rumahnya. Yasa tidak lain adalah putra
dari Sujata dari Senanigama, seorang wanita yang pernah mempersembahkan nasi
susu kepada Bodhisatta sebelum Pencerahan-Nya.
Setelah
bertemu dengan Sang Bhagava, Yasa mendengarkan Dhamma yang dibabarkan oleh Sang
Bhagava dengan saksama. Dan ketika batinnya sudah siap, bisa menerima, bebas
rintangan, bersemangat, dan yakin, Sang Bhagava membabarkan Empat Kebenaran
Arya.
Ketika
ayah Yasa mencari putranya yang telah pergi dari rumah, ia pun bertemu dengan
Sang Bhagava. Kemudian Sang Bhagava juga mengajarkannya ajaran bertahap dan
Empat Kebenaran Arya seperti yang telah dilakukan-Nya terhadap Yasa. Setelah
pembabaran Dhamma selesai, ayah Yasa mencapai Sotapanna dan berlindung pada Tiratana
(Buddha, Dhamma dan Sangha), dan Yasa pun mencapai tataran Arahat dan menjadi
bhikkhu.
Selanjutnya
berturut-turut, keluarga ibu Yasa dan mantan istri Yasa menembus Dhamma dan
menjadi Sotapanna setelah Sang Bhagava mengajarkan Dhamma kepada mereka ketika
ayah Yasa mengundang Sang Bhagava ke rumahnya.
Begitu
pula kelima puluh empat teman Yasa yang empat diantaranya adalah sahabat karib
Yasa yang bernama Vimala, Subahu, Punnaji, dan Gavampati, mereka juga menerima
pengajaran dari Sang Bhagava, menerima penahbisan menjadi bhikkhu, dan mencapai
tataran Arahat.
Demikianlah,
pada saat itu terdapat enam puluh satu Arahat di dunia, yaitu, Buddha, Bhikkhu
Pancavaggiya, Bhikkhu Yasa, dan kelima puluh empat sahabat Yasa.
Pada
saat berakhirnya tiga bulan masa kediaman musim hujan (vassana), Sang Bhagava
telah mencerahkan enam puluh tiga orang. Di antara mereka, enam puluh orang
mencapai tataran Arahat dan memasuki Persamuhan Bhikkhu, sementara yang lainnya
- ayah, ibu, dan mantan istri Yasa menjadi Sotapanna dan terkukuhkan sebagai
siswa awam sampai akhir hayat mereka. Kemudian, Sang Bhagava bermaksud
menyebarkan Dhamma kepada semua makhluk di alam semesta, tanpa memandang apakah
mereka adalah dewa ataupun manusia, tanpa memandang apakah mereka berkasta
tinggi, rendah, atau paria; tanpa memandang apakah mereka raja ataupun pelayan,
kaya ataupun miskin, cantik ataupun buruk, sehat ataupun sakit, patuh ataupun
tidak patuh pada hukum.
Kemudian
Sang Bhagava berkata kepada keenam puluh bhikkhu Arahant tersebut: “Para Bhikkhu,
Saya telah terbebas dan semua ikatan yang mengikat makhluk hidup, baik para
dewa maupun manusia. Kalian juga telah terbebas dan semua ikatan yang mengikat
makhluk hidup, baik para dewa maupun manusia. Pergilah, para Bhikkhu, demi
kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, atas dasar welas asih kepada
dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia
(caratha, bhikkhave, carikam bahujanahitaya bahujanasukhaya lokanukampaya
atthtaya hitaya sukhaya devamanussanam). Janganlah pergi berdua dalam satu
jalan! Para Bhikkhu, babarkanlah Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada
pertengahannya, dan indah pada akhirnya, dalam makna maupun isinya. Serukanlah
hidup suci, yang sungguh sempurna dan murni. Ada makhluk dengan sedikit debu di
mata yang akan tersesat karena tidak mendengarkan Dhamma. Ada mereka yang mampu
memahami Dhamma. Para Bhikkhu, Saya sendiri akan pergi ke Uruvela di Senanigama
untuk membabarkan Dhamma.”
Demikianlah,
Yang Terberkahi mengutus keenam puluh siswa¬Nya yang telah tercerahkan untuk
mengembara dan satu tempat ke tempat lain. Ini menandakan karya misionari
pertama dalam sejarah umat manusia. Mereka menyebarluaskan Dhamma yang luhur
atas dasar welas asih terhadap makhluk lain dan tanpa mengharapkan pamrih apa pun.
Mereka membahagiakan orang dengan mengajarkan moralitas, memberikan bimbingan
meditasi, dan menunjukkan manfaat hidup suci.
==========================================
0 komentar:
Posting Komentar